Buku Gerakan 30 September: Isu Dewan Jenderal jadi Pemicu Utama
Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965
Kesimpulan ini sama dengan yang disampaikan oleh Heroe Atmodjo, dan kemudian dijadikan dasar pertimbangan perintah harian Menteri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani menanggapi peristiwa itu - sehingga membawa konsekuensi hukum berat bagi dirinya.
Logika Abdul Latief
Satu sosok penting dalam Gerakan adalah Kolonel (Inf.) Abdul Latief, yang saat itu menjabat Komandan Batalyon Infantri I/Djaya Sakti pada Kodam V Djaja.
la ditahan sejak tahun 1965, divonis mati pada 1982, namun mendapat amnesti dari Presiden BJ Habibie pada Maret 1999, dan meninggal dunia pada 6 Maret 2005.
Mengaku kenal dekat dengan Jenderal Soeharto karena di tahun-tahun awal kemerdekaan dulu menjadi anak buahnya langsung.
"NRP saya 10685, NRP Pak harto 10684, maka saya menempel persis di belakangnya. Silaturahmi antarkeluarga juga sangat dekat. Ketika anak saya Agung Prabowo disunat, Pak Harto dan Ibu rawuh, malahan Agung dipangku Ibu Tien. Begitu juga saat Sigit disunat, saya dan istri sowan ke sana."
Maka mendengar Tommy masuk rumah sakit karena tersiram kuah sop panas, Latief menjenguk memberitahu Mayjen Soeharto yang waktu itu menjabat Panglima Kostrad, soal rencana penculikan para jenderal AD.
Mendengar hal itu, kata Latief, Pak Harto tidak bersikap apa-apa. Lagi pula, karena kondisi Tommy yang parah dan kerepotan Bu Harto menyusui bayi si bungsu Mamiek, perhatian Pak Harto terpecah.
Sebelumnya Latief telah mendengar, ada sejumlah perwira tinggi AD yang akan merebut kekuasaan. la juga mengetahui soal keresahan prajurit AD soal kelakuan para petinggi yang tidak mereka sukai.
"Saya ingin membersihkan angkatan dari jenderal-jenderal yang enggak bener. Saya tidak mau diam dan menunggu mereka bergerak lebih dulu."
"Rapat di rumah saya pada 29 September 1965 memutuskan operasi pembersihan para jenderal akan dilaksanakan pada 1 Oktober pukul 02.00. Yang hadir Jenderal Pardjo, Letkol Untung, Sjam Kamaruzzaman, dan saya sendiri," sambung Kolonel Latief, yang namanya tidak termasuk unsur pimpinan Gerakan 30 September.
Secara tidak mencolok namanya berada pada urutan ke-34 di antara 45 nama anggota Dewan Revolusi.
Penahanan dan persidangan Latief berlarut-larut. Kesalahan yang dituduhkan kepadanya adalah, pertama, melakukan makar dengan niat menggulingkan pemerintahan. Kedua, melawan pemerintah dengan senjata (pemberontakan) melalui berbagai macam jalan; sejak pertemuan, kesepakatan, berikut perbuatan-perbuatan tercela.
"Yang saya lakukan bersama teman-teman, usaha menyelematkan pemerintahan di bawah Presiden/Mandataris MPRS dari ancaman coup d'etat Dewan Jenderal, yakni sebagian perwira tinggi Angkatan Darat," Latief melengkapinya dengan sejumlah fakta:
"Pemerintahan Presiden Sukarno yang katanya saya gulingkan berbalik menjadi tertuduh dan malah dianggap terlibat G30S."