Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Buku Gerakan 30 September: Isu Dewan Jenderal jadi Pemicu Utama

Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965

Editor: Aldi Ponge

TRIBUNMANADO.CO.ID -  Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang kemudian menjadi titik balik perubahan besar politik negeri ini, tak cukup mudah dipahami meski banyak buku, artikel, laporan, dan kesaksian telah dibuat.

Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengambil manfaat? Ibarat sebentuk gambar yang terdiri atas banyak potongan kertas, belum terbentuk gambar yang utuh.  Celakanya, banyak kertas palsu atau rekayasa.

Buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang - Catatan Julius Pour (2010) ini mencoba menyusun kembali gambar berdasarkan kesaksian para tokoh penting di seputar peristiwa itu.

Mayong Suryo Laksono mencukil buku tersebut dan dimuat di Majalah Intisari edisi November 2010, dengan judul asli Mencari Titik Terang dari Kelamnya Sejarah Indonesia.

--

Tahun 1965 ditandai oleh Presiden Sukarno (Bung Karno) sebagai tahun Tjapailah Bintang-bintang Setinggi Langit.

Pesan yang mengangkat optimisme bangsa, ajakan untuk bergotong-royong dalam semangat berbasis Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom), menentang Nekolim (Neo Kolonialisme-Imperialisme), itu ditunggangi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggalang kekuatan buruh dan tani.

Baca: Putri Kolonel Sugiyono Lahir Sebulan Setelah Ayahnya Dibunuh G30S PKI, Soekarno Beri Nama Ini

Mereka mengusulkan agar para petani dan buruh dipersenjatai, menjadi angkatan kelima. Hal inilah yang kemudian memunculkan permusuhan dengan Angkatan Darat, pihak yang tidak setuju dengan usul itu.

Pada saat itu PKI memang tengah percaya diri karena perkembangannya yang pesat, terutama di P. Jawa. Basis pendukung amat luas, di lingkungan sekolah, seniman, pegawai pemerintah, bahkan angkatan bersenjata.

Triumvirat Aidit, MH Lukman, dan Njoto berhasil membangun kembali kekuatan yang hancur pasca-pemberontakan tahun 1948. Dalam Pemilu 1955, PKI menduduki posisi keempat, di bawah PNI, Masjumi, dan Nahdlatul Ulama.

Bung Karno juga memberi angin, antara lain dengan memberi Bintang Mahaputera kepada DN Aidit, Ketua Umum Komite Sentral PKI yang juga menjabat Menteri Koordinator, pada 13 September 1965.

Sebelumnya, saat PKI merayakan hari jadi ke-45 secara besar-besaran di Jakarta, 23 Mei 1965, Bung Karno meneriakkan semangat kebersamaan, "... dia kerabat dan juga sahabatku. Kalau PKI mati, aku akan merasa kehilangan."

Baca: Terungkap Keberadaan Presiden Soekarno Saat Peristiwa G30S PKI

Banyak tokoh PKI memegang posisi kunci di pemerintahan. Bahkan Njoto adalah penulis pidato Presiden Sukarno. Sulit membedakan antara seorang Komunis atau Sukarnois.

Karena kepercayaan diri yang besar itu, Aidit tak segan-segan mengritik Jenderal Nasution, Jenderal Ahmad Yani, dan para perwira tinggi militer lain.

Aidit bahkan berani menyindir dengan menyebutkan pemimpin yang diragukan kualitasnya karena beristri lebih dari satu orang – di depan Bung Karno.

Baca: 4 Kesalahan dalam Film G30S PKI Produksi Orde Baru, Gerwani Ternyata Begini Kelakuannya

Halaman
1234
Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved