Renungan Minggu
Renungan Minggu: Belajar dari Doa Si Pemungut Cukai
Pernah tahu asal‑usul istilah 'debat kusir'? Konon, suatu ketika, ada seorang yang terpelajar naik bendi.
Orang Farisi hidup sesuai dengan tuntutan‑tuntutan agama. Ia tidak berlaku seperti anggota masyarakat lainnya. Ia tidak melanggar apa yang digariskan oleh Hukum Taurat. Ia tidak merampok, ia tidak berlaku kejam, ia tidak berzinah, ia tidak memeras bangsa sendiri seperti si pemungut cukai. Dan ia
juga memenuhi tuntutan‑tuntutan praktis beragama, seperti berpuasa dan memberi persepuluhan.
Pendeknya, dari apa yang ia yakini, ia tidak melakukan kesalahan. Atau dengan kata lain, dari apa yang ia hidupi, ia adalah orang benar.
Dan karena itulah ia mengucap syukur kepada Allah.
Tetapi dari doanya kita dapat merasakan suatu hubungan yang kering dengan Tuhan Allah. Suatu hubungan yang statis karena hanya didasarkan pada pemenuhan aturan‑aturan hukum. Dan selama orang Farisi ini memenuhi semua tuntutan hukum agama, maka ia tetap merasa bahwa dirinya adalah orang benar.
Dan yang paling penting, dalam doanya ini yang menonjol bukanlah Tuhan Allah, melainkan dirinya sendiri. Aku bukan ini, aku bukan itu, aku tidak begini, aku tidak begitu, makanya aku ini adalah orang benar. Terima kasih Tuhan karena aku berhasil menjadi orang benar. Begitulah doa orang Farisi ini.
Berbeda dengan si pemungut cukai. Doanya bukanlah suatu ucapan syukur atas apa yang telah dicapainya, atau suatu daftar keberhasilan, melainkan suatu permohonan yang sungguh, yang muncul dari pengalaman dan kenyataan hidupnya sendiri.
Ia menyadari siapa dirinya di hadapan Allah; bahwa ia tidak layak berdiri dan berdoa di hadapan Allah; makanya ia tidak berani menengadah ke langit.
Dan selain itu ia dengan sadar menyesali kehidupannya, menyesali segala dosanya, yang mungkin telah melecehkan orang lain dan tidak ramah terhadap orang lain serta yang menganggap enteng orang lain, bahkan menindas dan merampas dari orang lain. Pendeknya, ia menyadari dosa‑dosanya.
Dan doanya hanya sebaris kata, namun sangat dalam niat dan tujuannya: Ya Allah kasihanilah aku orang yang berdosa ini. Dalam doa ini, Allah adalah pusat pengharapan dan pengasihan.
Di akhir perumpamaan ini Yesus berkata: Aku berkata kepadamu, orang ini ‑maksudnya si pemungut cukai ‑pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu ‑maksudnya si orang Farisi ‑tidak.
Si orang Farisi pulang ke rumah tanpa membawa perubahan. Ia sekedar melanjutkan hidupnya yang kemarin dan hari ini ke esok hari, dan demikian seterusnya. Kehidupannya adalah sebuah rutinitas, tanpa dinamika, sekedar memenuhi kewajiban dan tuntutan agama.
Berbeda dengan si pemungut cukai. Setelah berdoa si pemungut cukai pulang ke rumah membawa suatu pengalaman transformasi, suatu pengalaman perubahan mendasar, dalam hidupnya. Ia adalah orang berdosa yang dibenarkan oleh Allah. Ia dibebaskan dari rasa rendah dirinya dan ditinggikan oleh Allah.
Ia merasakan pengasihan Allah, sesuai yang dimohonkan dalam doanya.
Ia merasakan suatu hubungan yang baru dengan Tuhan Allah, yang niscayaakan membawa perubahan pada cara hidupnya, cara ia menyapa dan memperlakukan orang lain dalam hidupnya.
Lalu bagaimana dengan kita dan doa‑doa kita? (*)