Renungan Minggu
Renungan Minggu: Belajar dari Doa Si Pemungut Cukai
Pernah tahu asal‑usul istilah 'debat kusir'? Konon, suatu ketika, ada seorang yang terpelajar naik bendi.
Renungan Minggu: Belajar dari Doa Si Pemungut Cukai
(Lukas 18:9‑14)
Pdt David H Tulaar
Sekretariat Umum Sinode GMIM
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pernah tahu asal‑usul istilah 'debat kusir'? Konon, suatu ketika, ada seorang yang terpelajar naik bendi. Di tengah perjalanan, tiba‑tiba kuda yang menarik bendi itu ‑maaf ‑buang angin dengan keras sekali.
Si orang terpelajar ini lalu berkata kepada si kusir: Oh rupanya kudanya masuk angin, ya, pak.
Si kusir menoleh ke arah si orang terpelajar ini dan dengan nada heran berkata: Bapak ini bagaimana, itu namanya bukan masuk angin, pak, tapi keluar angin.
Si orang terpelajar ini lalu balas menanggapi: Bukan pak, itu namanya masuk angin.
Si kusir menjawab lagi: Bukan pak, itu namanya keluar angin.
Dan seterusnya, dan seterusnya. Maka terjadilah debat kusir antara si orang terpelajar dan si kusir tentang masuk angin atau keluar angin.
Dua orang dengan dua pendapat berbeda dan masing‑masing mempertahankan kebenaran pendapatnya, yang memang jika dilihat dari perspektif masing‑masing pihak, keduanya benar adanya.
Padahal, kalau saja masing‑masing pihak mau melihat dari perspektif yang lain, mungkin debat kusir tidak perlu terjadi.
Misalnya, kedua belah pihak bilang: benar juga ya, kuda ini masuk angin, makanya ia mengeluarkan angin. Atau, benar juga ya, kuda ini mengeluarkan angin karena ia masuk angin. Kan selesai.
Tapi begitulah, kalau seseorang sudah mengangggap dirinya benar, sangat sulit ia mengakui kebenaran orang lain.
Malah terkadang kebenaran dirinya membuat ia menganggap enteng dan merendahkan orang lain, yang dianggapnya salah atau berbeda dari kebenarannya sendiri.
Saya membayangkan, bahwa Yesus sedang berhadapan dengan orang‑orang yang seperti ini ketika ia menceritakan perumpamaan ini: Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini:
Ya Allah, aku mengucap syukur kepada‑Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh‑jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
Saya menduga, Yesus memilih dua tokoh ini dalam perumpamaannya karena alasan yang
sederhana.
Orang Farisi adalah pemuka agama dalam masyarakat Yahudi. Mereka sangat taat dan berpegang teguh pada aturan‑aturan Hukum Taurat dan berusaha hidup seperti yang diperintahkan dan dituntut oleh hukum itu. Mereka sangat dihormati dalam masyarakat dan bahkan adalah anutan masyarakat dalam hal kepatuhan terhadap Hukum Taurat.
Sementara seorang pemungut cukai dipandang hina oleh masyarakat karena sedikitnya dua alasan.
Pertama, mereka dianggap sebagai antek‑antek penjajah Romawi, karena mereka bekerja untuk
kepentingan kaum penjajah ini, yaitu mengumpulkan setoran pajak sesuai yang dituntut dan dibebankan oleh pemerintah kepada rakyat Yahudi waktu itu. Dalam hal ini pemungut cukai dianggap pengkhianat bangsa.
Kedua, dalam melaksanakan tugasnya, para pemungut cukai ini bukan hanya mengumpulkan pajak sesuai jumlah yang dituntut, tetapi mereka memperkaya diri dengan menambah‑nambahi jumlah pajak yang harus dibayar. Dalam hal ini mereka dianggap pemeras rakyat.
Nah, Yesus mengumpamakan dua macam orang ini datang untuk berdoa ke Bait Allah.
Kita mendengar dalam doanya orang Farisi berkata: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada‑Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
Sementara doa si pemungut cukai diucapkan sambil menunduk (sebagai tanda ketidak‑layakan) dan memukul diri (sebagai tanda penyesalan), katanya: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
Sepintas lalu kita akan mendapat kesan bahwa tujuan Yesus menceritakan perumpamaan ini adalah untuk menyarankan para pengikutnya untuk tidak menjadi seperti si orang Farisi.
Tapi tidak seperti biasanya, kali ini Yesus tidak mengecam orang Farisi. Yesus tidak bilang di sini, janganlah berdoa seperti orang Farisi karena mereka munafik. Tidak. Di sini Yesus justeru menunjukkan siapa orang Farisi itu yang sebenarnya. Di sini Yesus tidak menyalahkan doa orang Farisi ini, karena memang begitulah orang Farisi itu.
Orang Farisi hidup sesuai dengan tuntutan‑tuntutan agama. Ia tidak berlaku seperti anggota masyarakat lainnya. Ia tidak melanggar apa yang digariskan oleh Hukum Taurat. Ia tidak merampok, ia tidak berlaku kejam, ia tidak berzinah, ia tidak memeras bangsa sendiri seperti si pemungut cukai. Dan ia
juga memenuhi tuntutan‑tuntutan praktis beragama, seperti berpuasa dan memberi persepuluhan.
Pendeknya, dari apa yang ia yakini, ia tidak melakukan kesalahan. Atau dengan kata lain, dari apa yang ia hidupi, ia adalah orang benar.
Dan karena itulah ia mengucap syukur kepada Allah.
Tetapi dari doanya kita dapat merasakan suatu hubungan yang kering dengan Tuhan Allah. Suatu hubungan yang statis karena hanya didasarkan pada pemenuhan aturan‑aturan hukum. Dan selama orang Farisi ini memenuhi semua tuntutan hukum agama, maka ia tetap merasa bahwa dirinya adalah orang benar.
Dan yang paling penting, dalam doanya ini yang menonjol bukanlah Tuhan Allah, melainkan dirinya sendiri. Aku bukan ini, aku bukan itu, aku tidak begini, aku tidak begitu, makanya aku ini adalah orang benar. Terima kasih Tuhan karena aku berhasil menjadi orang benar. Begitulah doa orang Farisi ini.
Berbeda dengan si pemungut cukai. Doanya bukanlah suatu ucapan syukur atas apa yang telah dicapainya, atau suatu daftar keberhasilan, melainkan suatu permohonan yang sungguh, yang muncul dari pengalaman dan kenyataan hidupnya sendiri.
Ia menyadari siapa dirinya di hadapan Allah; bahwa ia tidak layak berdiri dan berdoa di hadapan Allah; makanya ia tidak berani menengadah ke langit.
Dan selain itu ia dengan sadar menyesali kehidupannya, menyesali segala dosanya, yang mungkin telah melecehkan orang lain dan tidak ramah terhadap orang lain serta yang menganggap enteng orang lain, bahkan menindas dan merampas dari orang lain. Pendeknya, ia menyadari dosa‑dosanya.
Dan doanya hanya sebaris kata, namun sangat dalam niat dan tujuannya: Ya Allah kasihanilah aku orang yang berdosa ini. Dalam doa ini, Allah adalah pusat pengharapan dan pengasihan.
Di akhir perumpamaan ini Yesus berkata: Aku berkata kepadamu, orang ini ‑maksudnya si pemungut cukai ‑pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu ‑maksudnya si orang Farisi ‑tidak.
Si orang Farisi pulang ke rumah tanpa membawa perubahan. Ia sekedar melanjutkan hidupnya yang kemarin dan hari ini ke esok hari, dan demikian seterusnya. Kehidupannya adalah sebuah rutinitas, tanpa dinamika, sekedar memenuhi kewajiban dan tuntutan agama.
Berbeda dengan si pemungut cukai. Setelah berdoa si pemungut cukai pulang ke rumah membawa suatu pengalaman transformasi, suatu pengalaman perubahan mendasar, dalam hidupnya. Ia adalah orang berdosa yang dibenarkan oleh Allah. Ia dibebaskan dari rasa rendah dirinya dan ditinggikan oleh Allah.
Ia merasakan pengasihan Allah, sesuai yang dimohonkan dalam doanya.
Ia merasakan suatu hubungan yang baru dengan Tuhan Allah, yang niscayaakan membawa perubahan pada cara hidupnya, cara ia menyapa dan memperlakukan orang lain dalam hidupnya.
Lalu bagaimana dengan kita dan doa‑doa kita? (*)