LSI Denny JA: Jokowi-Ma'ruf Amin Berpotensi Menang Telak
Hasil Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) menunjukan mayoritas reponden menilai pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Hasil Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) menunjukan mayoritas reponden menilai pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin berpotensi menang telak pada Pilpres 2019.
"Publik menilai Jokowi-Ma'ruf Amin yang paling berpotensi menang telak," ujar peneliti LSI, Rully Akbar, di kantor LSI, Jakarta, Rabu (5/9).
Dari survei tatap muka dengan kuesioner ini, responden ditanyakan soal capres-cawapres yang potensial menang telak dengan selisih perolehan suara di atas 10 persen pada Pilpres 2019.
Hasilnya, sebanyak 58,6 persen responden menyatakan Jokowi-Ma'ruf akan menang telak dengan selisih suara di atas 10 persen. Dan yang memilih pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya 25,7 persen reponden. Sementara sisanya, sebanyak 15,7 persen responden menyatakan tidak tahu/tidak jawab/belum memutuskan.
Survei ini dilaksanakan pada 14-21 September 2018 dengan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden, melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner. Dan survei ini memiliki margin of error sebesar +/- 2,9 persen.
Responden dalam survei yang digelar pada 14-22 September 2018 ini juga ditanya soal harapan Pilpres 2019 memunculkan presiden yang kuat. Hasilnya, 85,60 persen responden dari 1.200 responden menyatakan ingin agar terpilih presiden yang kuat.
Alasannya beragam. Sebagian besar responden ingin Indonesia stabil untuk menumbuhkan ekonomi/kesejahteraan rakyat, agar tidak diperalat oleh kepentingan sekelompok, agar tak terlalu banyak nego yang tak perlu untuk mengambil keputusan, serta agar presiden kokoh melindungi keberagaman Indonesia.

Kasus Ratna Sarumpaet Gerus Suara Prabowo
Rully juga menyampaikan analisanya. Menurutnya, masalah pembohongan yang dilakukan oleh aktivis Ratna Sarumpaet bakal berefek terhadap elektabilitas pasangan Prabowo-Sandiaga.
Aksi pembohongan Ratna Sarumpaet terjadi saat dia masih menjadi sebagai juru kampanye nasional dari pasangan Prabowo-Sandiaga Uno sebelumnya akhirnya diberhentikan.
Rully menilai penurunan ini tergantung dengan cara kubu Prabowo-Sandiaga melakukan upaya pembersihan nama baik. "Melihat potensi pasti ada potensi penurunan. Bagaimana mereka bisa menutupi kasus ini dengan baik, upaya pembersihan. Apakah ini ber-impact? Potensi penurunan pasti ada," ujarnya.
Mengenai persepsi yang bakal menyatakan Prabowo adalah sosok yang ceroboh dalam mengambil keputusan, menurut Rully, hal itu kembali pada penilaian dari publik.
Menurutnya, perubahan persepsi atau kesan publik terhadap Prabowo-Sandiaga bakal ditentukan lewat isu selanjutnya yang bergulir. "Prabowo yang dianggap ceroboh ini tergantung publik. Mengubah pilihan atau tidak, makin kuat atau tidak, akan terlihat di isu selanjutnya," jelas Rully.
Rully menilai kasus ini sudah mencederai demokrasi, sehingga besar kemungkinan bakal mendapatkan hukuman dari dari publik. "Kasus ini sudah mencederai demokrasi. pasti ada hukuman publik," ungkap Rully.
Pengamat politik Universitas Jenderal Achmad Yani, Arlan Siddha, juga menyatakan keputusan Prabowo Subianto selaku capres yang melakukan pembelaan terhadap Ratna Sarumpaet yang belakangan terbongkar ternyata adalah hoaks akan berimbas pada perolehan suara di pilpres nanti. Apalagi, pembelaan Prabowo terhadap Ratna tidak didukung dengan kroscek mendalam terlebih dahulu.