Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Warga Sulut Korban TPPO

Eks Pekerja Love Scam di Kamboja Sebut Ada Warga Sulut yang Tipu Bos Batu Bara Rp 120 M: Jago Merayu

Ko sampai berhasil menipu Rp 120 miliar dari bos batu bara di Provinsi Kalimantan. Dan mendapatkan komisi Rp 12 miliar.

Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
Kolase foto Chat GPT AI/Siswa PKL SMK Negeri 5 Manado/Briliant Lompoliu
SCAM LOVE: Ilustrasi warga Sulut jadi pekerja love scam di Kamboja dan infografis pola penipuan yang dilakukan. Seorang warga Sulut disebut mampu menipu seorang bos batu bara di Kalimantan hingga Rp120 miliar 

Vinny Sundah meninggal pada 4 April 2025 di mess perusahaan tempatnya bekerja di Phnom Penh, diduga akibat gangguan jantung. Nahtasya Antou juga dikabarkan meninggal karena sakit pada 10 April 2025. Sedangkan Rendy Ondang wafat pada 21 Maret 2023 juga disebutkan karena sakit.

Kasus warga Sulut meninggal di Kamboja ini juga dialami Marshix Karinda, warga Karombasan, Manado. Ia meninggal pada 30 Mei 2025 setelah sebelumnya dikabarkan sakit berulang kali di tempat kerja. BP2MI menyebut Marshix diduga bekerja di perusahaan ilegal penjual minuman keras dan rokok. Permintaannya untuk mendapat perawatan medis sempat ditolak perusahaan.

Marshix pun sempat meminta pertolongan WNI yang tinggal di Kamboja hingga akhirnya ia dibantu relawan dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. Dan hingga kini, jasadnya masih tertahan di Kamboja

BP2MI menyatakan telah menelusuri data korban melalui sistem SISKOP2MI, namun tidak menemukan catatan resmi. Hal ini menunjukkan bahwa Marchsix Karinda kemungkinan ditempatkan secara ilegal. 

Pihak BP2MI pun meminta perwakilan Republik Indonesia di Phnom Penh untuk membantu memfasilitasi penanganan kasus serta proses pemulangan jenazah.

Sebelum meninggal di RS Khmer Soviet Phonm Phem, Marshix Karinda sempat membagikan momen kesehariannya di Kamboja lewat akun Facebook bernama Marchix Chix Karinda.

Pada 28 Februari 2025, dalam sebuah video yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi, Marshix Karinda menyebut jika negara ini nggak jahat, cuma diri kita aja yang membuat mereka jadi jahat.

Tewasnya Marshix menambah daftar baru warga Sulut meninggal di Kamboja.

Sosok dan Kisah IT, Warga Sulut yang Dijanjikan Kerja di Rumah Makan Tapi Malah Jadi Budak Love Scam di Kamboja

Usianya masih sangat muda, baru menginjak 20-an tahun, tapi setiap kali menyebut kata Kamboja. Pria bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 160 cm itu itu selalu terbata-bata.

Wajahnya memancarkan beban yang berat, seolah menceritakan pengalaman hidup yang pahit menjadi pekerja penipu berlandaskan asmara (love scam) di Kamboja.

Suaranya serak saat ia mulai mengisahkan kembali perjalanan tragisnya."Saya bukan sekali dua kali bekerja di luar negeri. Tapi kali ini, rasanya seperti dibuang ke neraka," ujar IT (bukan nama sebenarnya, red) eks karyawan scam love Kamboja, Jumat 8 Agustus 2025 di Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut).

Pertengahan tahun 2021 menjadi awal baru bagi IT ketika ia mulai bekerja di sebuah rumah makan di Laos. Setiap hari, ia menjalani rutinitas yang sama, mengenakan seragam kerja sejak pagi, lalu bersiap melayani para pengunjung yang datang. Pukul 07.00, IT sudah berdiri di tempatnya, menyambut tamu dengan senyum ramah, menaruh pesanan di meja, hingga memastikan setiap hidangan disajikan di meja pengunjung.

Hari-harinya dipenuhi langkah cepat dan suara riuh pemesan makanan, sampai akhirnya pukul 16.00 sore ia menutup pekerjaan dan pulang beristirahat di mess perusahaan.

Dari pekerjaan 28 hari dalam sebulan, IT menerima gaji sebesar 300 dolar Amerika atau sekitar Rp 4,2 juta (kurs tahun 2021). Bagi IT, jumlah itu cukup untuk menghidupi dirinya selama tinggal di Laos.

Namun, sebuah tawaran menjadi pelayan restoran dengan gaji 700 dolar Amerika atau sekitar Rp 10 juta (kurs saat itu) yang ditawarkan sang kakak yang sama-sama berlatar belakang waiter (pelayan), mengubah segalanya. IT diajak ke Poipet, kota di perbatasan Kamboja, 469 kilometer dari Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh.

“Katanya kerja di rumah makan, gajinya besar. Saya ikut saja,” kenang pria asal Sulut ini.

Sesampainya di sana, kenyataan menghantam. Tak ada restoran, yang ada justru sebuah gedung mirip hotel berlantai 4 dengan kantin kecil di dalamnya.

Di gedung itu terdapat kamar-kamar yang bukan seperti kamar hotel pada umumnya, namun dengan tampilan tempat tidur susun mirip asrama.

Dan di lantai 3 terdapat orang-orang sibuk menelepon sana sini, serta mengetik di komputer sambil memegang kertas.

Dengan menggunakan bahasa isyarat,  IT terus menunjuk kertas-kertas yang berada di tangan pekerja dan yang tertumpuk di meja samping komputer.

Tak lama kemudian, seorang pemimpin (leader) datang bersama translator (penerjemah) memberikan penjelasan dalam bahasa Indonesia. Dari situlah IT baru mengetahui bahwa kertas yang dipegang para pekerja merupakan scrip love scam dan scam e-commerce.

Leader adalah sosok yang memimpin, membimbing, mendorong dan memotivasi IT untuk bekerja dengan cepat namun mengalir di love scam.

Di gedung bercat cokelat krem ​​itu, IT bekerja selama kurang lebih tiga bulan. Selama itu pula, ia tidak pernah menerima gaji sepeser pun karena gagal memenuhi target finansial yang ditetapkan leader Rp3,5 miliar setiap bulan dari hasil love scam.

Karena dianggap tidak produktif, IT kemudian dijual ke perusahaan-perusahaan lain yang masih berada di kawasan yang sama. Namun, di tempat baru itu pun, target yang ditetapkan tetap sama. Berbulan-bulan lamanya, IT kembali gagal mencapai target, dan gajinya tetap tak dibayarkan.

Kondisinya makin terjepit. Ingin beli sesuatu yang diinginkan tidak bisa karena kantongnya kosong, belum lagi leader yang terus menekan. Ia dipaksa bekerja dari pagi hingga tengah malam, menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer. Menggunakan akun Facebook palsu berwujud perempuan, IT harus mencari laki-laki kaya yang kesepian, lalu memacarinya secara virtual.

Tak tahan, IT mulai memprovokasi rekan-rekannya yang juga tidak pernah mendapat gaji, untuk memberontak. “Kalau ada satu orang dipanggil bos, semua harus ikut masuk. Kalau kami banyak, penjaga tak berani menyentuh,” ujarnya.

Tapi tidak semua bisa ikut. Beberapa rekannya tertinggal, disiksa, bahkan disetrum.

Kata IT, di Kamboja, jika tiga bulan ada yang tidak mencapai target menipu orang dengan keuntungan finansial Rp 3.5 miliar per bulan untuk kantor, perusahaan memang tidak memecat, melainkan menjual karyawan tersebut ke perusahaan lain. 

IT mengalami hal ini sampai empat kali. 

Siapa pun yang melarikan diri akan diblacklist, profilenya disebar dan konsekwensinya larangan masuk Kamboja seumur hidup.

Namun, meski terjadi masalah, IT menemukan “rasa rumah” yang rahasia. Di sana ia banyak mendengar orang-orang berdialeg Manado sehingga seperti berada di kampung halamannya sendiri. "Hampir semua yang kabur dan terlantar itu orang Indonesia. Banyak logat Manado yang saya dengar. Jadi sedikit mengurangi rasa takut terhadap Kamboja," katanya.

Hingga suatu hari, ia memutuskan kabur. Luntang-lantung di halaman Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang terletak di Phnon Penh, di sana ia justru ditahan karena overstay. 

Bersama 33 warga Sulawesi Utara, ia membuat permintaan video panjang. Video itu viral, dan pada tahun 2022, mereka dipulangkan.

Namun, pada Mei 2024, sebuah tawaran baru kembali datang kepada IT. Kali ini, ia dijanjikan temannya yang ada di Kamboja, pekerjaan sebagai bartender di sebuah bar dan restoran. Informasinya, resto itu milik seorang pengusaha asal Dubai, tetapi beroperasi di ibu kota Kamboja. Upahnya menggiurkan 800 dolar Amerika atau sekitar Rp 13,1 juta jika dirupiahkan. (kurs saat itu).

Nama besar Dubai membuat kewaspadaan IT tentang scam Kamboja hilang. IT berpikir, kali ini mungkin bukan lagi jebakan. Dalam pikirannya, bekerja sebagai bartender, terdengar jauh lebih masuk akal.

Pasalnya pertama kali dirinya ke Kamboja pada akhir tahun 2021, kata IT ia memang sudah sering lihat dan selalu diajak minum minuman keras di sana, namun karena tak ada uang ia selalu menolak.

“Jadi saat ditawarkan jadi peracik minuman, apalagi kerja dengan bos orang Dubai saya langsung mau,” aku IT.

Di pikiran IT, jika bekerja dengan orang Dubai hidupnya bisa sejahtera.

“Soalnya saya punya banyak teman yang kerja dengan bos-bos Dubai di kapal pesiar, mereka hidupnya senang. Atasannya pada royal dengan pekerja,” aku IT.

Yang membuatnya semakin mantap untuk kembali ke Kamboja karena dijanjikan diberangkatkan pakai jalur VIP.

Sepengetahuan IT, jalur VIP adalah jalur ilegal yang dipakai sindikat TPPO Kamboja untuk memberangkatkan para pekerja scam dengan cara yang terlihat resmi dan meyakinkan, seolah-olah perjalanan mereka aman dan sah.

Kata IT, jalur ini disebut VIP karena korban tidak perlu ribet mengurus dokumen, tidak perlu antre di imigrasi, semua sudah diatur oleh jaringan perekrut. IT saat itu hanya diminta membawa paspor dan  uang yang sudah dikirim perusahaan, sementara tiket, hotel, hingga alasan perjalanan sudah disusun tinggal dijawab-jawab saja kalau ditanya petugas.

Ciri khas jalur VIP kata IT adanya rasa aman yang sengaja diciptakan perekrut untuk menipu korban.

IT mengungkapkan kalau perjalanan dengan jalur VIP ini dibuat seperti perjalanan turis biasa. 

“Kami dibekali alasan jika ditanya petugas misalnya untuk liburan, mengunjungi kerabat, atau menghadiri acara,” aku IT.

“Waktu itu perusahaan mengirim Rp 30 juta untuk menyamarkan saya sebagai turis. Agen sudah mengajarkan semua trik,” tambah IT.

Kata IT lagi, ia membuat paspornya di Batam. Hal ini untuk menghindari ketatnya imigrasi Manado pasca kasus tahun 2021 ada 32 warga Sulut yang alami penyiksaan di Kamboja namun berhasil dipulangkan ke Sulut.

Untuk jalur VIP ini kata IT, ia melewati rute penerbangan Manado-Jakarta-Batam.

Saat tiba di Batam ia menyeberang jalur laut ke Singapore. Dari Singapore IT lanjut naik pesawat ke Bangkok dan menyeberang pakai bus ke Kamboja.

Namun, begitu kakinya menapak di tanah Kamboja, kenyataan pahit kembali menyadarkannya. Bukan Phnom Penh, ibu kota Kamboja, yang menjadi tujuan. IT justru dibawa ke sebuah wilayah terpencil bernama Prey Veng , sekitar 95 kilometer dari Phnom Penh.

Tak beda dengan kantornya pada 2021-2022, kantor IT kali ini juga mirip hotel kecil, namun ini berada di kompleks perumahan di Prey Veng.

Alih-alih restoran dan bar yang mewah, IT justru kembali terseret dalam praktik penipuan berlandaskan cinta.

Lagi dan lagi restoran tidak ada. Yang ada hanya meja, komputer, dan scam love tapi kali ini target finansialnya lebih besar yakni Rp 4 miliar per bulan. 

Bulan pertama IT dan teman-temannya hanya bisa menghasilkan Rp 700 juta untuk perusahaan. Bulan kedua Rp 1,5 miliar. Bulan ketiga Rp3,5 miliar. Tapi gajinya tetap nihil.

“Perusahaan sengaja patok target tinggi empat miliar rupiah karena mereka tahu kami pasti tidak bisa capai itu. Kan kalau tidak dapat tentu gaji tidak dibayar,” ucapnya.

Lanjut IT kalau mau keluar dari perusahaan ya harus bayar denda. Kalau tidak ya siap-siap dijual ke perusahaan lain sama seperti yang ia alami pada 2021 lalu.

IT mengungkapkan, perusahaan meminta denda sebagai uang ganti rugi biaya yang sudah dikeluarkan kantor untuk mendatangkan mereka ke Kamboja.

Selain gaji tak dibayar, dan target yang besar, kata IT lagi, masalah terbesar datang dari translator (penerjemah). Sering kali pesan bos dipelintir. Bos marah, beban kerja makin berat. Padahal kata IT, penerjemah itu orang Manado, gajinya Rp 20 juta per bulan.  (Ind)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado, Trheads Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved