Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Kisah AH Nasution, Pahlawan Nasional Indonesia, Konseptor Perang Gerilya yang Mendunia

AH Nasution, begitu ia kerap disebut, pernah menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) pada 1948.

Editor: Rizali Posumah
Meta AI
ILUSTRASI - Ilustrasi para gerilyawa Republik Indonesia di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Gambar diakses dari Meta AI pada Sabtu 6 September 2025. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Siapa tokoh militer Indonesia yang karyanya diakui dunia? 

Jawabannya adalah Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.

Dikenal sebagai salah satu sosok kunci di masa revolusi fisik, ia tak hanya ikut mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga berperan besar dalam membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari nol.

Pengalamannya dalam perang gerilya 1945 hingga 1949 dituangkan dalam buku Pokok-pokok Gerilya yang kini menjadi rujukan akademisi militer di seluruh dunia.

AH Nasution, begitu ia kerap disebut, pernah menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) pada 1948.

Pada 1950, jenderal bintang lima ini juga dipercaya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan langsung melakukan reorganisasi dalam struktur internal AD.

Lantas seperti apa sejarah dan kisah seorang pria asal Sumatera Utara ini? Simak ulasannya:

Profil

AH Nasution adalah anak kedua dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis.

Ia dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918.

Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet, kopi.

Selain sebagai pedagang, ayahnya juga aktif di dunia pergerakan dan organisasi yakni sebagai anggota Sarekat Islam.

Pak Nas, begitu biasa beliau dipanggil, tumbuh dalam keluarga yang sangat taat beragama Islam.

Ia memilai pendidikannya di kampung halamannya di Hutapungkut.

Sang ayah sebenarnya ingin Nasution belajar di sekolah agama, sementara sang ibu ingin ia belajar kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta).

Akan tetapi, kedua keinginan orang tuanya tidak tercapai, karena Nasution mendapat beasiswa untuk belajar mengajar di Sekolah Raja Bukittinggi (sekarang SMAN 2 Bukittinggi) pada 1932.

Tiga tahun kemudian, 1935, Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya.

Awalnya, Nasution memang memiliki keinginan untuk menjadi guru.

Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan tersebut kian lama kian menghilang. Nasution justru tertarik mengabdi sebagai prajurit.

Kendati begitu, Nasution tetap menjadi guru setelah lulus pada 1937.

Ia sempat mengajar di Bengkulu serta Palembang.

Masuk Militer

Nasution memasuki dunia militer pada tahun 1940, ketika Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima rakyat pribumi.

Dirinya mendaftar dan diterima di Akademi Militer Bandung untuk memulai pelatihan.

Berkat kepiawaiannya, pada bulan September 1940, Nasution dipromosikan menjadi kopral dan tiga bulan setelahnya menjadi sersan.

Lalu, ia menjadi seorang perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Pada 1942, ketika Jepang menduduki Indonesia, Nasution ditugaskan di Surabaya untuk menjaga pelabuhan di sana.

Kemudian, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung ke dalam militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Satu tahun setelahnya, 1946, Nasution diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang bertugas menjaga keamanan di Jawa Barat.

Karier Nasution di bidang militer pun terus mengalami perkembangan.

Pada 1948, Nasution kembali naik pangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Bandung Lautan Api

Bandung Lautan Api adalah salah satu peristiwa besejarah dalam revolusi Indonesia yang terjadi pada tanggal 23 Maret 1946.

Dalam peristiwa ini, Nasution yang masih berpangkat Kolonel juga ikut terlibat dengan memerintahkan masyarakat untuk segera mengosongkan Kota Bandung.

Tujuan Kolonel AH Nasution memerintahkan rakyat mengosongkan dan membumihanguskan Kota Bandung adalah agar pasukan Sekutu tidak bisa memanfaatkan fasilitas dan sarana di Kota Bandung.

Pada 23 Maret 1946, pukul 21.00 WIB, gedung pertama yang dibakar adalah Bank Rakyat.

Selanjutnya pembakaran tempat-tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega, serta asrama Tentara Republik Indonesia (TRI).

Peristiwa Madiun

Meskipun hanya sebagai wakil, Nasution banyak berperan dalam mengambil keputusan, karena saat itu Jenderal Soedirman kerap jatuh sakit.

Salah satu hal yang pernah ia lakukan adalah ketika Peristiwa Madiun terjadi pada September 1948.

Pada waktu itu, Madiun diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kabar ini pun terdengar sampai ke markas TKR di Yogyakarta. Kemudian, diadakanlah sebauh pertemuan untuk mengatasi peristiwa ini.

Soedirman sendiri ingin menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa ada kekerasan. Ia pun mengirim Letnan Kolonel Soeharto untuk menegosiasikan kesepakatan bersama Amir dan Musso.

Setelah selesai, Soeharto melapor kepada Soedirman dan Nasution bahwa kondisi saat itu sudah terbilang aman.

Namun, Nasution masih merasa curiga, sementara saat itu Soedirman sedang sakit.

Alhasil, ia memutuskan untuk mengambil tindakan keras dengan mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan di Madiun, Jawa Timur.

Akhirnya, tanggal 30 September, pasukan Divisi Siliwangi berhasil merebut kembali Madiun.

Agresi Militer Belanda II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II terjadi di Yogyakarta.

Akibatnya, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan Perdana Menteri Syahrir ditawan oleh Belanda.

Dalam situasi pelik ini, Nasution mengumumkan pembentukan Pemerintahan Militer Indonesia, yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Nasution diberi posisi sebagai Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa selama pemerintahan sementara ini berlangsung.

Setelah Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia, PDRI mengembalikan kekuasaan mereka kepada Presiden Soekarno dan Hatta.

Nasution pun kembali ke jabatan semula sebagai Wakil Panglima Jenderal Soedirman.

Nyaris Diculik Gerombolan G30S

Pada 1 Oktober 1965, terjadi peristiwa penculikan tujuh perwira Angkatan Darat yang disebut sebagai Gerakan 30 September atau G30S.

Nasution pun menjadi salah satu target untuk diculik oleh para pelaku yang juga tentara.

Tokoh yang bertugas memimpin pasukan penangkapan Nasution adalah Letnan Doel Arief dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil.

Pukul 04.00 pagi, mereka berusaha masuk ke kediaman rumah Nasution secara diam-diam.

Sekitar 15 tentara dikirim masuk ke dalam rumah. Mereka mengira Nasution pasti sudah terlelap.

Namun, ternyata ia masih terjaga bersama istrinya. Nasution sendiri tidak mendengar ada suara apapun.

Sementara istrinya mengatakan bahwa ia mendengar ada suara pintu yang dibuka paksa.

Istri Nasution pun segera bangun untuk memeriksa.

Begitu ia membuka pintu kamar, ia melihat tentara Cakrabirawa sudah berdiri di sana dan mengarahkan senjata siap menembak.

Otomatis sang istri langsung menutup pintu sembari berteriak.

Nasution pun langsung mencoba melarikan diri bersama sang istri melalui pintu lain dan menyusuri koridor pintu samping rumahnya.

Selama Nasution berusaha menyelamatkan diri, beberapa peluru sudah ditembakkan.

Alhasil, seluruh penghuni rumah ikut terbangun dan ketakutan mendengar suara tembakan tersebut.

Ibu dan adik Nasution, Mardiah, yang juga tinggal di dalam rumah tersebut langsung berlari ke kamar tidur Nasution.

Mardiah berlari dengan membawa putri Nasution yang masih berusia lima tahun bernama Irna.

Keduanya mencoba untuk bersembunyi di sebuah tempat yang aman, tetapi saat sedang berlari seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya.

Irma pun terkena tembak sebanyak 3 kali di bagian punggungnya. Lima hari kemudian, Irma dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit.

Sementara itu, Nasution berhasil lolos dari kejaran para tentara yang hendak menangkapnya. Nasution langsung bergegas mengambil tindakan untuk mengatasi hal ini.

Pada akhirnya, pukul 06.00 tanggal 2 Oktober 1965, G30S berhasil diatasi.

Setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, ia memerintahkan penangkapan 15 menteri yang dianggap sebagai loyalis Soekarno pada 18 Maret 1966.

Akibatnya, posisi ketua MPRS yang sebelumnya dipegang Chairul Saleh mengalami kekosongan, karena ia ikut tertangkap.

Nasution pun ditunjuk untuk menduduki posisi tersebut pada periode 1966-1972.

Konseptor Perang Gerilya

Berbekal pengalamannya dalam perang revolusi di Indonesia dari 1945 hingga 1949, jenderal bintang lima ini menjadi konseptor perang gerilya untuk kalangan akademisi militer. 

Pokok-pokok Gerilya (1953) atau Fundamentals of Guerrilla Warfare adalah salah satu buku AH Nasution yang kini sudah terkenal di kalangan militer sedunia.

Pemikiran, konsep dan, ide dari AH Nasution yang dituangkan dalam buku Pokok-pokok Gerilya dimulai pada masa agresi militer Belanda.

Saat itu, strategi linier yang digunakan pasukan TNI tidak berhasil sehingga mudah diterobos oleh pasukan Belanda.

AH Nasution pun memiliki gagasan untuk menyusun dan menerapkan konsep perang gerilya. Tujuannya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Perang gerilya adalah perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, berpindah-pindah dan penuh kecepatan.

Sebab, menurut Nasution, serbuan dari pasukan Belanda tidak mungkin ditahan. Sehingga, tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah memperlambat serangan musuh.

AH Nasution saat itu menyadari persenjataan TNI dan strategi konvensional tidak akan mampu menghadapi Belanda sehingga diperlukan adanya kantong-kantong gerilya.

Maka itu, dibentuklah daerah pertahanan (wehrkreise) untuk menghadapi tentara Belanda yang lebih kuat persenjataannya.

Selain menulis buku Pokok-pokok Gerilya, Pak Nas juga pernah menyusun konsep perang territorial.

Sejak tahun 1960 pun konsep teritorial itu resmi digunakan TNI AD sebagai doktrin pertahanan nasional.

Di masa tuanya, AH Nasution pun masih aktif menulis memoar atau pengalaman hidup dan perjuangannya di awal masa Kemerdekaan Indonesia.

Putri sulung Pak NAS, Hendrianti Sahara Nasution mengungkapkan, sejak dahulu ayahnya memang gemar membaca dan menulis buku.

"Beliau berpikir, mungkin pengalaman beliau itu bisa jadi pelajaran dan memang beliau itu bukunya memang dipakai. Beliau kalau tidak salah ada 70-80 judul dari beliau dan itu beliau tulis sendiri," ujar Hendrianti seperti dikutip dari acara "Singkap" di Kompas TV.

Abdul Haris Nasution wafat pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita penyakit stroke dan koma.

Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Untuk mengenang jasanya, AH Nasution diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Bergabung dengan WA Tribun Manado di sini >>>

Simak Berita di Google News Tribun Manado di sini >>>

Baca Berita Update TribunManado.co.id di sini >>> 

SUMBER:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved