TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan.
Pada tahun 2026 mendatang, pemerintah berencana menarik utang baru jumbo senilai Rp781,8 triliun.
sebuah angka fantastis yang menimbulkan pertanyaan besar mampukah APBN menanggung beban tersebut?
Baca juga: Breaking News: Tersangka Hein Arina Titipkan Barang Bukti Rp 5,2 Miliar ke Kejari Manado
Rencana penarikan utang ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menutup defisit anggaran sekaligus menjaga roda pembangunan tetap berputar.
Namun, di sisi lain, tambahan utang dalam jumlah besar berpotensi mempersempit ruang fiskal negara di tahun-tahun berikutnya.
Dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026, target pembiayaan dari utang pemerintah ditetapkan Rp 781,9 triliun.
Bila dirinci lebih lanjut, tambahan utang pemerintah tersebut meliputi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 749,2 triliun dan pinjaman senilai Rp 32,7 triliun.
Sementara pada 2025, target penarikan utang melalui SBN adalah Rp 585,1 triliun.
Adapun pinjaman senilai Rp 130,4 triliun.
Pembiayaan utang yang mencapai Rp 749,2 triliun dilakukan pemerintah sebagai upaya menutup defisit APBN 2026 yang ditargetkan sebesar 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Bila menilik ke belakang, jumlah tambahan utang pemerintah pada RAPBN 2026 ini adalah yang tertinggi kedua sepanjang sejarah Indonesia.
Penarikan utang tertinggi pemerintah Indonesia terjadi pada 2021 atau saat pandemi Covid-19.
Saat itu, pemerintah Indonesia menambah utang sebesar Rp 870,5 triliun.
"Pada 2021, rasio utang sempat mencapai 40,7 persen sebagai dampak program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Namun kembali turun di bawah 40 persen pada akhir 2024 yang mencapai sebesar 39,8 persen," dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026.
Adapun, utang jatuh tempo Indonesia pada 2025 mencapai Rp 800,33 triliun.