Untuk keberangkatan, para korban diwajibkan membeli perlengkapan seperti koper, sepatu, dan kemeja dengan harga yang sudah ditentukan perekrut.
Barang-barang itu bahkan dibelikan oleh pihak yang disebut HRD.
"Sepatu Rp 250 ribu, koper Rp 300 ribu, kemeja Rp 70 ribu. Dan kita disuruh ketawa saja, anggap liburan betul," jelas ERG.
Keluarga korban sampai rela menjual motor demi biaya keberangkatan.
Uang hasil penjualan motor sebagian diberikan kepada orang tua, sebagian lagi dipakai untuk biaya makan, penginapan, dan perlengkapan.
"Saya kira dengan mamaku suruh jual motor itu adalah restu, sehingga saya janji kalau sudah gajian akan saya belikan mama mobil," ucap ERJ sambil menahan tangis.
Para korban juga dijanjikan fasilitas tempat tinggal, makan tiga kali sehari, hingga bonus jika berhasil merekrut anggota baru.
Operasional kerja pukul 09.00-22.00 waktu setempat dengan hanya dua hari libur setiap bulan.
Namun informasi mengenai pekerjaan sebenarnya sangat minim.
"Kalau saya tahu itu scam, saya tidak akan berangkat," kata AM.
BP3MI Sulawesi Utara memastikan kedua korban telah dipulangkan dan difasilitasi.
"Modusnya dari kasus dugaan TPPO ini serupa dengan kasus sebelumnya, berawal direkrut lewat media sosial, dijanjikan gaji besar, dan diberangkatkan seolah-olah liburan," jelas Tim Perlindungan BP3MI Sulut, Jordi.
Masyarakat diimbau tidak mudah percaya tawaran kerja di luar negeri dengan gaji tinggi.
"Pastikan keberangkatan melalui agen resmi. Kalau ada informasi mencurigakan, segera laporkan ke kepolisian atau BP3MI," tegasnya.
Transit di Jakarta
Keduanya dicegat Polsek Bandara Sam Ratulangi saat bersiap terbang dengan maskapai Batik Air tujuan Jakarta, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke luar negeri.