TRIBUNMANADO.CO.ID - Kisah kepahlawanan Robert Wolter Mongisidi mempertahankan kemerdekaan RI menjadi inspirasi bagi Gen Z Robert berjuang di usia yang masih muda.
Ia gugur saat berumur 24 tahun.
Robert Wolter Mongisidi lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara (Sulut), 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949.
Bote, panggilan akrabnya, dikenal sebagai sosok pemberani, pintar, berkarisma, setia kawan, jujur dan religius.
Letkol TNI (Purn) Robby Mongisidi (88), saudara kandung Bote bercerita tentang sedikit kisah masa kecil dan remaja Robert Mongisidi.
Ia bercerita sewaktu lahir, bayi Bote terbungkus selaput air berwarna merah putih.
"Kala itu orang tua tua bilang anak ini akan jadi seorang pemimpin dan disegani," kata dia kepada Tribunmanado.co.id saat diwawancarai di rumahnya beralamat Jalan Pramuka, Kelurahan Sario Kota Baru, Kecamatan Sario, Manado, Sulut, Rabu (20/8/2025).
Ia dan Bote selisih 12 tahun.
Tak banyak ingatan tentang kakaknya.
Satu-satunya yang membekas adalah sebuah peristiwa di zaman penjajahan Jepang.
Ceritanya kala itu Manado dikuasai Jepang.
Dai Nippon berhasil mengakhiri kekuasaan Belanda selama hampir 3,5 abad di nusantara.
Namun Jepang di akhir perang pacific terus menerus di obok obok sekutu.
Pesawat pembom sekutu terus mengebom posisi Jepang.
Salah satunya di Manado.
Kala itu ancaman bom sekutu kian menjadi jadi hingga penduduk di sekitar rumah Robby mengungsi.
"Nah saat pengungsian itu saya malah tertidur, saya masih kelas 1 SD, saat itulah Wolter dari jendela menarik saya untuk kemudian mengungsi," katanya.
Robby Mongisidi (88) adalah saksi hidup dari kisah pahlawan nasional dari Manado Robert Wolter Mongisidi.
Ia merupakan adik kandung dari Robert Wolter Mongisidi.
Di usianya yang sudah sepuh, Robby masih terlihat kuat.
Ingatannya juga masih tajam.
Ia hafal nama, tempat, tanggal dan peristiwa di masa lampau.
Terutama yang berkaitan dengan sang kakak tercinta.
"Resepnya tak usah banyak pikiran," katanya sambil tersenyum.
Robby tinggal di sebuah rumah yang sederhana.
Pada meja di ruang utama terdapat setumpuk buku tentang pahlawan.
Profesi Robby tak jauh-jauh dari sang kakak.
"Saya pensiunan tentara, pangkat terakhir Letkol," kata dia.
Ia mulai berdinas pada tahun 1955.
Wilayah tugas pertama adalah Makassar.
"Kemudian saya pindah ke Majene, Bone, Pakato, Bitung, Tomohon hingga kemudian saya mengikuti pendidikan Capa, dari banyak pendaftar hanya terpilih tiga, satu di antaranya saya," kata dia.
Tugas sebagai anggota TNI ia jalani dengan penuh tanggung jawab.
Hingga akhirnya ia menjabat Kepala Sospol Sanger Talaud.
"Itu jabatan terakhir saya, hitung hitung saya sudah 38 tahun berdinas sebagai tentara," kata dia.
Dia bercerita, ayah dan ibunya bernama Petrus Mongisidi dan Lina Suawa.
Pasangan itu melahirkan 11 anak.
"Kami 11 bersaudara, Wolter anak ke 4 sedang saya anak ke 9, usia kami terpaut 12 tahun," kata Robby.
Sebutnya, ia dan Wolter lahir di Manado.
Mereka berasal dari suku Bantik yang mendiami Manado.
Saat ini, kata dia, tinggal dua yang masih hidup.
Selain dirinya adapula Margaritha Mongisidi.
Isu Pemindahan Makam
Keluarga Mongisidi di Manado memberi tanggapan terkait wacana pemindahan makam Robert Wolter Mongisidi ke daerah asalnya.
Robby Mongisidi (88), adik kandung Robert Wolter Mongisidi mengungkapkan apresiasi atas rencana tersebut.
Sejatinya, kata pensiunan Letkol TNI AD ini, keluarga berharap makam tetap seperti sedia kala.
"Kalau memang keputusannya ini program kebijaksanaan nasional, nanti demikian (harus dipindahkan) tentu kami mendukung dan hormati," kata Robby di Manado, Selasa (29/8/2025).
Robby bercerita, sejatinya dulu keluarga punya keinginan jasad Bote, panggilan kesayangan Robert, dipulangkan ke Manado.
Namun keinginan itu urung diwujudkan karena satu alasan.
Semua berawal pada peristiwa dipindahkannya makam dari Pemakaman Kristen Pampang Makassar ke Taman Makam Pahlawan Panaikkang, Makassar, 10 November 1950.
Saat itu, ayah Bote, Petrus serta beberapa anggota keluarga, termasuk Robby yang baru berusia 13 tahun, berangkat ke Makassar.
Semuanya berjumlah 14 orang berangkat ke Makassar.
Mereka diundang khusus untuk upacara pemindahan makam yang digelar tepat di Hari Pahlawan.
Selain makam Bote, turut dipindahkan makam dari dua Pahlawan Nasional lainnya, pejuang perempuan Emmy Saelan dan Kapten Usman Jafar.
Pada momen itu, Petrus mengemukakan permintaan jika boleh makam Bote dipindahkan ke Manado.
Menjawab permintaan itu, Kepala Dinas Pemeliharaan Pemakaman Tentara Komando Teritorium VII Wirabuana, Lettu Toisutta mengatakan, akan dibahas dalam pertemuan pada 15 November.
Lima hari setelah upacara pemindahan makam.
Lettu Toisutta tidak lain adalah ayah dari mantan KSAD (2009-2011), mendiang Jenderal TNI George Toisutta.
Digelarlah pertemuan dimaksud di Markas Teritorium VII Wirabuana, Makassar pada 15 November 1959.
Robert Wolter Mongisidi dikenal luas di Sulsel. Tidak hanya di Makassar tapi hingga ke pedalaman.
Salah satu bukti lainnya, ketika proses pemakaman sehari setelah dieksekusi Belanda, puluhan ribu orang mengantar jenazahnya ke Pemakaman Kristen Pampang Makassar, 6 September 1950.
"Karena forum, tokoh-tokoh masyarakat Makassar menolah, ya ayah saya tidak ngotot," katanya.
Profil Robby Mongisidi
Lahir : Malalayang Manado 25 September 1937
Pekerjaan : Purnawirawan TNI
Pangkat Terakhir : Letnan Kolonel (Letkol)
Riwayat Tugas : Makasar, Majene, Bone, Pakato, Bitung, Tomohon.
Hubungan Dengan Wolter Mongisidi : Saudara Kandung.
Alamat: Jalan Pramuka, Kelurahan Sario Kota Baru, Kecamatan Sario, kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara.
Profil Wolter Mongisidi
Robert Wolter Mongisidi di adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia.
Ia lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
1. Biografi
Robert merupakan anak dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa.
Dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Kala itu, ia dididik sebagai guru Bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon.
Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa, dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat ia berada di Makassar.
Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda).
Ia juga terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda.
Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947.
Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Mongisidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949.
Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
2. Penghargaan
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973.
Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
Bandara Wolter Mongisidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Mongisidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Mongisidi dan Yonif 720/Wolter Mongisidi.
3. Biodata
Nama lengkap: Robert Wolter Mongisidi
Tempat, tanggal lahir: Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925
Meninggal: Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925
(TribunManado.co.id/Art)
Baca Berita Tribun Manado di Google News
WhatsApp TribunManado.co.id : KLIK