TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO -- Produk turunan kelapa di Sulawesi Utara dinilai masih menjadi sektor unggulan yang menopang pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun pengembangan nilai tambah dari produk ini dinilai belum maksimal karena keterbatasan investasi dan industrialisasi.
Hal ini disampaikan oleh akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ir. Dedie Tooy, M.Si, Ph.D, saat dimintai tanggapan oleh Tribun Manado melalu sambungan WA pada Selasa (5/8/2025).
Menurut Dedie, harga kelapa dan kopra yang tengah naik membuat banyak petani dan pelaku usaha tergiur menjual kelapa utuh.
Namun jika diolah menjadi produk turunan, nilai ekonominya jauh lebih besar.
“Sebenarnya bisa dimaksimalkan kopranya, baru sabutnya, tampurungnya. Nah, tampurungnya sebenarnya relatif masih banyak sekali yang tertarik,” ujarnya.
Tempurung kelapa disebut masih punya nilai jual tinggi jika dijadikan briket atau arang aktif.
“Itu nilainya tinggi,” kata Dedie.
Sementara itu, sabut kelapa memiliki potensi besar jika diolah menjadi matras, yang saat ini pasarnya terbuka luas di Cina.
“Itu potensi sekali, kalau jadi matras cuma dia investasinya tinggi,” ujarnya.
Dedie menambahkan bahwa Sulawesi Utara sejauh ini masih mengandalkan produk turunan seperti kopra, tepung kelapa, dan arang tampurung.
Namun untuk pengembangan produk dengan nilai tambah tinggi seperti arang aktif, kosmetik, dan farmasi, masih dibutuhkan investasi besar dan sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah.
“Kalau dari segi penelitian banyak, yaitu virgin coconut oil (VCO) turunannya sampai farmasi, sampai kosmetik, itu kan banyak.
Tapi kan petani juga bingung mau jual di mana,” ungkapnya.
Menurutnya, meski VCO memiliki potensi besar di sektor kesehatan, pasar dalam negeri belum cukup kuat menyerap produk ini secara konsisten.