Namun suara akar rumput lebih menginginkan adanya calon presiden baru dan dilakukannya proses penyegaran figur calon presiden. Hal ini berkaca kepada pengalaman kalahnya pasangan Megawati dan Prabowo pada tahun 2009.
Namun sebaliknya, beberapa kader justru resisten terhadap hasil survei yang terus mengunggulkan Joko Widodo sebagai calon presiden.
Kader dan simpatisan PDIP yang menamai dirinya sebagai Pro-Jokowi kemudian melakukan deklarasi pada 21 Desember 2013, yang terdiri dari penggerak Posko Gotong Royong Megawati 1998.
Mereka lalu bergerak dari satu DPC ke DPC lainnya untuk menggalang dukungan terhadap pencapresan Jokowi.
Ini sebagai respon usulan di dalam internal pengurus, contohnya saat Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan Oktober 2013. Saat ini Projo sudah berkembang dan hadir di seluruh provinsi dan kabupaten kota di Indonesia.
Pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah berkali-kali mendapat tekanan secara politik. Contohnya saat Pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2013.
Dibahas sejak Jokowi menjabat tahun 2012, APBD senilai 49,9 Triliun tersebut baru disahkan DPRD pada tanggal 28 Januari 2013. Hal ini disebabkan alotnya perdebatan mengenai KUAPPAS.
Anggaran diutak-atik sehingga perdebatan berlangsung panas dan diwarnai aksi walkout beberapa anggota DPRD.
Dengan naik menjadi Presiden, diharapkan Jokowi bisa terlepas dari intrik dan tarik ulur di DPR. Walaupun demikian, tetap saja Jokowi harus menghadapi kubu oposisi yang jauh lebih besar.
Koalisi Merah Putih menguasai 350 kursi atau 64 persen suara di parlemen, berbanding 270 kursi atau hanya 36 persen.
Inilah yang menyebabkan perlunya dukungan politik di luar parlemen yang terwujud dalam bentuk kekuatan relawan seperti Projo untuk mengelola opini publik.
Adanya dukungan akar rumput membantu Jokowi dalam menghadapi pertarungan-pertarungan politiknya.
(Tribunnews.com Rahmat W Nugraha)