Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Delapan terdakwa, kasus pergeseran suara Pemilu di Kecamatan Likupang Barat, Minut, Sulawesi Utara divonis bersalah oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Airmadidi, Selasa 21 Mei 2024.
Sidang digelar di ruang Prof Dr H Muhammad Hatta Ali.
Dalam sidang tersebut delapan terdakwa didampingi Pengacara Dr Santrawan Paparang, SH, MH, MKn dan tim.
Kedelapan terdakwa adalah, Ferdinand Bawengan komisioner Bawaslu Minut dan Yardi Harun, komisioner KPU Minut.
Kemudian, Saptono sebagai PPK Likupang barat bersama dua rekannya Sahril Udrusi dan Axel Sasela anggota PPK Likupang Barat serta Evgenny sebagai Panwacam Likupang Barat.
Lalu, Rusdiyanto Rantesalu dan Rifandi Tekol sebagai penghubung.
Ferdinand, Yardi, Rusdiyanto dan Rifandi mengajukan banding.
Sedangkan, keempat lainnya sudah menerima hasil vonis.
Ferdinan Bawengan dan Yardi Harun divonis masing-masing satu tahun dan denda Rp 10 juta Rupiah.
Sahril Udrusi, Axel dan Evgenny divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 1 juta.
Rusdiyanto Rantesalu dan Rifandi Tekol divonis lima bulan penjara, kemudian terdakwa Saptono divonis 3 bulan penjara.
Rusdiyanto dan Rifandi terbukti secara sah melakukan tindak pidana membuat suara Pemilu berkurang.
Saptono secara sah terbukti menggeser suara sehingga berkurang.
Baik Rysdiyanto, Rifandi dan Saptono diharuskan Mejlis Hakim untuk membayar denda Rp 5 juta rupiah, jika tidak dibayar akan dikurungi 1 bulan.
Kedelapan terdakwa ini didakwa melanggar pasal 532 undang-undang nomor 7 tahun 2017, tentang Pemilihan Umum.
Paparang, sebagai penasehat hukum saat diwawancarai usai sidang menjelaskan kliennya sudah mengajukan banding.
Dengan begitu menurut Paparang, dirinya sebagai penasehat hukum akan mengajukan laporan langsung pada Ketua Mahkamah Agung (MA).
"Kami tidak main-main. Penerapan hukum bisa berbeda didalam melakukan intervensi, tapi tidak ada ahli hukum tata negera dan Bawaslu Republik Indonesia yang dipanggil dalam persidangan ini," ucap Paparang.
Menurut Paparang, haakim membuat penafsirannya sendiri yang masuk dalam ranah tata negara.
Bagi Paparang, hakim dia tidak pernah melihat bahwasannya keberadaan undang-undang nomor 7 tahun 2017, penafsirannya tidak bisa melebihi kepentingan yang disampaikan sebagaimana pasal 484 ayat 1.
Di mana, ahli tata negara dan Bawaslu RI tidak pernah didengarkan sebagai ahli didalam persidangan.
"Kami akan mengajukan laporan kepada Ketua MA, Wakil Ketua MA bidang yudisial, badan pengawasan MA, ketua pengadilan tinggi dan wakil ketua pengadilan tinggi, Menkopolhukam dan Komisi 3 DPR RI.
"Itu semua akan kami tempuh sebagai upaya mengajukan laporan," tegasnya.
Dijelaskannya, perkara ini seolah-olah berkas perkara sama, dalam tuntutan sama di dalam pertimbangan majelis hakim itu tidak sesuai dengan apa yang tetungkap dalam persidangan itu paralel.
"Ini belum berakhir kami masih ada perjuangan. Untuk mendapat keadilan bukan hanya disini saja tapi masih ada," tutupnya. (fis)