Sampai tahun 1999, Tewu pernah bertugas di Timor Timur dengan menduduki jabatan sebagai Kadit Serse Polda Timor Timur.
Namun dia terjerat Kasus pelanggaran HAM Timor, yang membuatnya saat itu telah menjabat sebagai Mayor Polisi harus rela turun menjadi Kapten Polisi.
Setelah masalah tersebut, Tewu dipindahkan ke Kasatserse Narkotika Ditserse Polda Metro Jaya.
Pada tahun 2001, Carlo Tewu sukses mengungkap kasus pembunuhan Hakim Agung Saifudin Kertasasmita.
Peristiwa pembunuhan Syafiuddin terjadi di waktu yang sama pada saat Polda Metro Jaya sedang memburu Tommy melalui tim khusus.
Hal ini memunculkan dugaan yang kuat bahwa Tommy merupakan otak dari pembunuhan itu. Pada 6 Agustus 2001, dugaan tersebut terbukti setelah penyidik menemukan senjata api, bahan peledak, dan dinamit dari rumah yang disewa Tommy di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Pada 7 Agustus 2001, tim kepolisian berhasil menangkap dua pria penembak Syafiuddin.
Mereka adalah Mulawarman dan Noval Hadad.
Keduanya mengaku membunuh atas perintah Tommy dengan bayaran senilai 100 juta rupiah.
Usai kasus tersebut terpecahkan, nama Carlo Tewu semakin terkenal dan mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa.
Saat masih berada di Ditserse Polda Metro Jaya, Tewu juga berhasil menangkap gembong teroris Imam Samudra.
Karier Tewu dalam kepolisian cepat melesat berkat prestasi yang dicapainya.
Tahun 2001, Tewu yang merupakan anggota Tim Kobra beserta yang dipimpin Jenderal Tito Karnavian berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra Presiden Soeharto.
Tommy yang akhirnya tertangkap pada akhir November kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Berkat sukses menangkap Tommy, Carlo Tewu termasuk polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa.
Carlo Tewu juga termasuk polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa saat tergabung dalam tim Ditserse Polda Metro Jaya, yang menangkap teroris Imam Samudra di Pelabuhan Merak, Banten, 21 November 2002.