Hal ini membuat Parman sempat berhenti sekolah hingga dua tahun dan membantu sang ibu berjualan di Pasar Wonosobo.
Parman kemudian menyelesaikan sekolahnya di AMS dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
Namun invasi Jepang di tahun 1942 membuat Parman kembali berhenti sekolah.
Parman kemudian menjadi penerjemah bagi polisi militer Jepang yaitu Kenpetai.
Gaduh dan berisik, suara burung sriti itu begitu rapat dan memekakkan telinga.
Arah pandangan Jenderal S. Parman masih tertuju pada langit-langit rumahnya.
Suaranya semakin nyaring tak beraturan dan tidak mengada-ada.
Benar-benar memecah kesunyian di malam Kamis menuju Jumat yang membuatanya sulit untuk memejamkan mata.
Di dalam kamarnya, Bu Parman berusaha menenangkan suaminya yang terjaga dan gelisah di ujung ranjang.
Namun suara Sriti itu masih terdengar jelas dan semakin lantang di telinga sang jenderal.
Seperti masuk dan terjebak di dalam rumah, seperti firasat yang tak jelas dari mana datangnya.
Berikutnya suara sepatu lars ikut ‘memeriahkan’ indera pendengarannya.
Ya suara itu nyata, seperti derap langkah banyak orang di depan rumahnya.
Ia segera bergegas keluar kamar diikuti oleh Bu Parman yang mencoba menahan suaminya ketika suara pintu depan diketuk keras dari luar.
“Siapa?”