Sejarawan Sem Narande dalam buku berjudul Vadu La Paskah mengungkap, pada tahun 1563 utusan Portugis Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate ke Manado.
Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma bersama 1500 orang rakyat.
“Raja Posuma sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua (keturunan bangsawan Bowentehu) yaitu raja pertama di kerajaan Siau. Kedua Raja serta 1500 orang itu meminta Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” tulis Sem Narande (Valdu La Paskah, 1980, 333).
Sementara Kinalang Damopolii, adalah Datuk atau Raja dari Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Manado.
Kedatangan Belanda
Sekitar tahun 1600-an Perusahaan Dagang milik Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC datang ke Manado dan menyingkirkan pengaruh Portugis-Spanyol.
Kedatangan Belanda membuat perubahan di Kota Manado.
Pengaturan Hukum Eropa Modern mulai berlaku. Meski begitu, awal kedatangan Belanda tidak secara langsung mengubah aturan masyarakat adat yang sudah ada di Sulawesi Utara.
Walhasil status warga keturunan Eropa yang disebut Mestizo kian tidak jelas.
Saat Belanda datang, orang-orang Mestizo ini sudah menjadi warga Kota Manado. Mereka tidak mungkin ke Eropa, karena itu bukan kampung mereka
Di Manado juga mereka tidak diakui sebagai Pribumi, jadi tidak bisa ikut aturan hukum adat Pribumi.
Belanda kemudian menerbitkan aturan bagi orang-orang Mestizo ini. Karena darah campuran mereka, maka penguasa Belanda kala itu menerbitkan aturan yang membuat mereka punyai posisi istimewa yakni Vrijburger, yang berarti warga negara bebas.
Alasan lain, karena banyak juga orang-orang Belanda yang kawin dengan penduduk setempat.
Dari Vrijburger berkembang menjadi istilah Burger, lalu Borgor dan akhirnya lewat lidah warga lokal terciptalah istilah Orang Borgo.
Meski bangsa Eropa dan Mestizo dari Maluku yang datang ke Manado umumnya beragama Kristen, namun tidak semua orang Borgo beragama Kristen.