Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Selamat tinggal tanah airku tercinta.
Surga timur yang runtuh rebah.
Kuserahkan jiwa papah ini kepadamu.
Kalau pun ia segar dan remaja, kan kuserahkan jua untuk bahagiamu.
Betapa manis ajal agar kau hidup.
Syair yang ditulis Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina, kubaca di depan patung Adolf Lembong di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kairagi, Manado, Sulawesi Utara beberapa tahun lalu.
Setelah itu kutulis kisah Adolf Lembong di tempat tersebut. Cara menulis yang ekstrim ini kupilih untuk beroleh proximity (kedekatan).
Maklum tak ada orang dekat Adolf Lembong yang dapat diwawancarai.
Satu-satunya informasi berasal dari Wikipedia. Juga untuk dramatisasi.
Ini elemen penting untuk melukis kisah tokoh penuh liku macam Adolf Lembong.
Sendirian di makam pada sore jelang malam, membawakan suasana horor. Justru itu yang kucari.
Efek merinding yang menginspirasi. Bulu kuduk berdiri yang membuat hati meluapkan emosi kreatif, pikiran penuh inspirasi ; penuh daya cipta tanpa batas, sekaligus dalam batasan logika yang teliti dari otak yang dingin.
Aku seakan menembus lorong waktu, tiba di Filipina tanggal 7 Januari 1945.
Kala itu sebuah konvoi berisi puluhan tentara Jepang dihadang oleh sekelompok gerilyawan.
Tembak menembak terjadi. Tentara Jepang kala itu menyandang reputasi ngeri, menghajar tentara Amerika, Inggris dan Rusia, tiga negara adidaya militer dunia, dalam babak awal Perang Pasific.