Mungkin ia biasa melihat salib di negaranya.
Tapi itu semua terasa biasa, tak menggugah lagi.
Salib itu hanya sebatas benda seni yang dibuat manusia tanpa imajinasi ilahi.
Tapi di Manado mungkin ia ketemu salib yang berbeda.
Salib ini mungkin hanya terbuat dari bambu dan fuya, tapi terasa yang ilahi hadir di sana.
Ia mungkin seorang yang tak beragama dan tahu bilamana bar yang ia masuki adalah bekas gereja yang ditutup karena sudah tak ada jemaat.
Dan ia tersentuh karena salib yang melekat di tugu itu berbicara tentang darah.
Darah anak domba Allah yang menebus korban perang, bukan hanya antara Jepang dan Sekutu, tapi juga Ukraina dan Rusia dan segala perang yang terjadi sepanjang abad.
Pada darah itulah ia berkaca.
Seperti puisi Chairil Anwar, "aku berkaca dalam darah".
Baca juga: Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya: Membangun Budaya Pembelajaran yang Berhasil
Baca juga: Kisah Anto Mantiri Bisa Bangun Rumah dan Beli Motor Cash, 10 Tahun Jadi Tukang Sol Sepatu di Sulut
Saya pernah meliput sebuah lomba paduan suara.
Seorang bule yang menyaksikan lomba itu menangis tersedu-sedu.
Bagi saya, anak muda yang menyanyikan koor adalah pemandangan biasa.
Tapi bagi si bule, itu hal luar biasa.
"Ini pemandangan yang menyentuh. Di negara saya, hanya orang tua yang pergi ke gereja. Tapi di sini, orang orang muda sangat aktif ke gereja dan menyanyi pula," kata bule Jerman ini.