Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Para aktivis geram karena pemerintah dinilai telah melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), hingga menyeret negara ke dalam krisis moneter.
Sebelum terjadi Tragedi Trisakti, terdapat Tragedi Gejayan yakni salah satu aksi yang digelar untuk memprotes kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Satu orang tewas dalam tragedi yang terjadi di Yogyakarta itu dan kemudian memicu aksi di beberapa daerah, termasuk Jakarta (tragedi Trisakti).
• Sosok Hendriawan Sie, Mahasiswa yang Tewas dalam Tragedi Trisakti 1998, Aktivis Muda Garis Depan
Kronologi Tragedi Trisakti
Mengutip Harian Kompas, (13/5/1998), aksi dilakukan oleh mahasiswa, dosen, pegawai,
dan para alumni Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 mulai pukul 11.00 WIB di halaman parkir.
Agenda aksi hari itu salah satunya mendengar orasi dari Jenderal Besar AH Nasution, tapi tidak jadi karena absen.
Lalu diisi dengan berbagai orasi dari para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Kemudian sekitar pukul 13.00 WIB peserta aksi keluar dari kampus menuju ke Jalan S Parman, Grogol (yang persis berada di depan kampus) dan hendak menuju gedung MPR/DPR Senayan.
Barisan paling depan terdiri atas para mahasiswi yang membawa mawar dan membagikannya pada aparat kepolisian.
Aksi damai
Di waktu yang sama, pimpinan mahasiswa, para alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo SH
dan petugas keamanan membuat kesepakatan aksi damai itu hanya bisa bergerak sampai di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Atas kesepakatan yang dicapai dengan aparat keamanan tersebut, melalui sebuah pengeras suara Ketua Crisis Centre Universitas Trisakti Adi Andojo Soetjipto segera mengumumkan kepada mahasiswa bahwa mereka tidak boleh melanjutkan perjalanannya.