Tajuk Tamu Tribun Manado

Pentingnya Metode dalam Penelitian/Penemuan: Membaca Penguasa Dinasti Han: Leluhur Minahasa (1)

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ambrosius Loho

Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado
Pegiat Filsafat-Estetika

SELANG dua tahun terakhir, pegiat budaya secara khusus budaya Minahasa, juga berbagai forum-forum diskusi tentang Minahasa dan ke-Minahasaan, disuguhkan oleh karya Welliam Boseke berjudul Penguasa Dinasti Han: Leluhur Minahasa. Sekilas buku ini fenomenal, tapi justru menimbulkan ‘tanya’ atas benarnya fakta penemuan ini. Banyak yang mempertanyakan, tapi tidak sedikit yang menerima, dengan pelbagai catatan kritis. Demikian juga, forum-forum diskusi seputar Minahasa, justru bersikeras tidak sejalan jika dikatakan bahwa leluhur Minahasa adalah Dinasti Han. Bahkan sejurus dengan itu, ada klaim bahwa buku itu hasil dari ‘cocokologi’ penulis, juga dianggap sebagai ‘cucokologi’. Entah apa maksud dari klaim-klaim ini.

Sebagai sebuah buku, tentu perlu diapresiasi kehadiran buku ini. Walaupun sejauh yang penulis ketahui, buku ini bukan untuk klaim absolut atas sebuah temuan. Karena sebuah temuan memang harus diuji, ditelaah dan dibuktikan kebenarannya, sebisa mungkin dari berbagai perpektif ilmu pengetahuan. Tetapi bahwa itu adalah sebuah karya, patut diterima sebagai sebuah pengabdian pada literasi.

Konon, sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Sokrates bahwa hidup yang tidak diuji, tidak layak dihidupi. Maka buku Pak Boseke memang perlu diuji, supaya layak ‘dihidupi’ (baca: digunakan sebagai rujukan), demikian juga, perlu ditelaah supaya memiliki kekuatan akademik dalam kancah ilmu pengetahuan.

Maka terkait pengujian atas sebuah karya, penulis ingin mengatakan beberapa poin berikut ini: Pertama, secara umum dapat penulis katakan, jika ini bukan sebuah klaim, juga karena banyak yang mengatakan bahwa buku Boseke sebagai sebuah klaim, tampak bahwa kritikan besar adalah kurangnya literatur Boseke yang menjadi referensi untuk karyanya. Hal itu tidak bisa dimungkiri, buku Boseke memang kurang literatur. Maka bisa saja karena alasan ini, buku Boseke menjadi perdebatan sengit sampai saat ini. Sebuah buku memang perlu literatur yang primer, supaya kuat, walaupun harus diakui, bahwa di masanya, para filsuf Yunani Kuno tidak merujuk satu literatur pun dalam mengembangkan teori dan pemikirannya. Thales, misalnya, mempertanggungjawabkan ide dasarnya bahwa prinsip dasar realitas adalah air, dengan menggunakan rasio atau logos, dan hal itu dirujuk oleh para filsuf turun temurun sampai hari ini. Aristoteles bahkan mengatakan bahwa Thales adalah filsuf pertama.

Hal ini telah pernah dikatakan oleh Benni Matindas, bahwa Sokrates dan penemuan-penemuannya tidak pernah merujuk satu pun buku, bahkan malah mementahkan semua buku (teori yang ada). Tetapi dalam kondisi sedemikian itu, Sokrates dirujuk oleh para penulis sampai saat ini (termasuk saya). Juga hal itu sangat ditunjang oleh fakta bahwa Sokrates amat yakin bahwa pikiran manusia mampu mencapai suatu pengetahuan tertinggi dan kebenaran universal. (Bdk. Ohoitimur).

Kedua, karya Boseke harus dilihat dalam kerangka konsep pengetahuan dan bagaimana pemerolehannya. Buku Boseke adalah sebuah pengetahuan (baru). Untuk memahami ini, kita perlu mengerti secara mendasar apa itu pengetahuan? Pengetahuan menunjuk pada keseluruhan gagasan, ide, konsep tentang segala sesuatu yang secara psikologis diyakini seseorang. Aktivitas mengetahui tidak lain adalah aktivitas menangkap dan meyakini secara mental/psikologis segala hal berkaitan dengan obyek tertentu (obyek pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional), yang ketat denagn panca indera dan pengalaman intelek/rasio.

Buku Boseke juga menjadi sebuah pengetahuan yang posisi epistemisnya adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial sekitarnya dan dengan seluruh kenyataan. Di sana ada pengalaman langsung pada persentuhan inderawi dengan benda-benda konkret di luar manusia dan peristiwa yang disaksikan sendiri oleh seorang pencari pengetahuan itu. Pengalaman langsung itu tidak serta merta lepas dari pengalaman reflektif, karena dari pengalaman langsung itu, direfleksikan dan akhirnya ditulis. (Sudarminta 2002).

Ketiga, jika menukik lebih dalam, dalam karyanya Welliam Boseke menggunakan metode falsifikasi. Apa yang difalsifikasinya? Pertama, mitologi dan dongeng-dongeng. Kedua, bahasa Minahasa adalah bukan sebagaimana yang ada sekarang, tetapi pada saat yang sama terkait dengan bahasa Han. Ketiga, Minahasa datang dari Dinasti Han Shu (tahun 263). Demi sebuah posisi epistemis yang mumpuni, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana gambaran sederhana metode falsifikasi itu. Karl Raimud Popper, filsuf Austria, memperkenalkan metode falsifikasi yang secara tidak langsung mengembangkan rasionalisme kritis yang mempertegas kemungkinan untuk salah dari sebuah pengetahuan manusia. Popper menegaskan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah mencapai suatu teori ilmiah yang semakin mampu merumuskan kebenaran, dan syarat suatu teori penemuan diterima adalah sejauh mana sebuah teori mengalami pengujian dan lulus dari sebuah tes atau ujian yang ketat dan ‘berat’. Semakin kuat sebuah teori diuji, semakin besar kemungkinan teori tersebut diterima. Demikian juga, pengujian suatu hipotesis selalu terjadi dalam waktu. Semakin sebuah teori diterima, kita hanya mengatakan bahwa teori tersebut memiliki hubungan positif dengan sejumlah besar kalimat basis. (Dua 2009: 65).

Bagi Popper, mencari obyektivitas ilmu berarti membentuk kriteria rasional untuk memperoleh dan memahami pengetahuan. Adapun kriteria pembedanya adalah falsifiabilitas: suatu pernyataan bersifat ilmiah bila bisa difalsifikasikan secara empirik, sehingga tak ada ruang untuk pengetahuan yang absolut dan yang tak tergoyahkan. Meskipun tidak tak bisa diverifikasi secara positif, teori bisa diuji. Obyektivitas pernyataan ilmiah, terletak dalam kenyataan bahwa pernyataan tersebut dapat diuji secara intersubyektif. (ibid.).

Suatu pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan benar, bila sistem tersebut dapat diuji (falsifiabilitas). Teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat dan jelas. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar sehingga tidak jelas apa yang sebenarnya yang diinginkan, maka bilamana diuji dengan observasi atau eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian.

Ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak (close) tidak kebal kritik (truth claim) tetapi bersifat relatif dan partikularis dengan asumsi akan ada pemikiran baru yang akan merevisi atau megklasifikasi setiap hasil pernyataan serta simpulan pemikiran ilmu pengetahuan. Tidak ada otoritas dalam ilmu pengetahuan, sebagai konsekuensinya ilmu pengetahuan terbebas dari kepentingan, terbebas dari nilai, ramalan, pretensi dari manapun yang dapat merusak independensi imajinasi dan ekspresi para ilmuan atau lembaga keilmuan. (Popper 1979, Valentinus 2011: 103).

Akhirnya, penting untuk diingat oleh seorang ilmuwan, sebuah teori (ilmu pengetahuan) dapat ditolak secara keseluruhan hanya karena tidak dapat dipakai sebagai kerangka dasar untuk menjelaskan sebuah fakta lagi (fakta yang muncul setelah adanya fakta sebelumnya). Maka hemat penulis, sebuah ilmu pengetahuan tidak hanya merupakan kumpulan fakta (atau mengumpulkan fakta), melainkan suatu sistem penjelasan tentang fakta yang dihadapi. Semakin kuat ujian atas fakta penemuan itu, semakin memungkinkan penemuan itu dapat dijadikan rujukan ilmu pengetahuan. (*)

Baca juga: Heboh, Nenek 82 Tahun Mukbang Pecel Lelel Bersama Cucu, Video Undang Tawa Warganet

Baca juga: Sonya Selviana Kembuan Teken 16 Nota Kesepahaman dengan Umat Islam

Baca juga: Floyd Mayweather Takut Cedera, Cuma Mau Baku Hantam dengan Petarung MMA

Berita Terkini