TRIBUNMANADO.CO.ID - Menyusul disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR-RI memantik sejumlah reaksi publik.
Tak terkecuali di Sulawesi Utara yang juga diwanai demo penolakan UU Cipta Kerja.
Terkait hal ini Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Josef Kairupan menilai, setiap kebijakan dibuat berdasarkan urgensinya masing-masing.
Sehingga tak menutup kemungkinan UU Cipta Kerja ini dibuat karena mempunyai urgensi yang berskala luas.
"Entah itu urgensi publik, urgensi kelompok, atau urgensi politis. Banyaknya sorotan bernada negatif terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini, setidaknya menarik perhatian publik. Mulai dari input, proses, dan output kebijakan ini," jelas Kairupan yang merupakan Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsrat.
Lebih lanjut, dia menyebut ada beberapa catatan yang perlu digaris bawahi, Apakah UU ini telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020?.
• Aksi Tolak UU Cipta Karya, Billy Lombok Sambut Hangat Demo Mahasiswa di Gedung Cengkih
• Jaringan Aktivis Mahasiswa Sulut Klarifikasi 13 Hoaks UU Cipta Kerja
Apalagi mengingat ditengah bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Pandemi covid-19, telah menimbulkan resistensi yang berakibat akan dilanggarnya protokol kesehatan.
"Proses pembuatan kebijakan publik harus melalui tahapan dan proses yang tidak singkat. Langkah yang paling awal adalah proses perumusan kebijakan, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik pada masa yang akan datang," terang Kairupan.
Dia pun turut menilai bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah perumusan yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi,
Sebab sering kali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah sebuah landasan konseptual belaka yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak populer.
Namun Ketika terjadi penolakan terhadap suatu kebijakan publik, hal ini merupakan suatu hal yang wajar, karena setiap kebijakan yang dibuat pada dasarnya mengakomodir kepentingan yang skalanya lebih luas dan meminimalisir gesekan yang berimbas pada gelombang protes.
"Namun pada kenyataannya UU Cipta Kerja ini telah menimbulkan resistensi yang besar hampir terjadi diseluruh daerah di Indonesia, hal ini dipicu karena adanya proses yang diduga tidak sesuai aturan, dimana dalam internal legislatif sendiri tidak mengikuti prosedur mekanisme pembentukan undang-undang dalam Tata Tertib DPR. Sehingga regulasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, keputusan Badan Legislasi (Baleg) membentuk dan menyerahkan pembahasan RUU ini ke Panja telah melanggar sejumlah prosedur formal legislasi," jelasnya.
Kairupan turut menyoroti dalam agenda raker pertama DPR-RI seharusnya menyusun penjadwalan dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tentang Rancangan UU Cipta Kerja.
Tetapi yang terjadi justru pimpinan raker langsung membentuk Panja, hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Tata Tertib (Tatib) DPR-RI khususnya pasal 151 ayat (1), pasal 154 ayat (1), dan pasal 156 ayat (1), disamping itu menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja.
"Hal ini jelas terbukti bahwa ada beberapa fraksi yang menginginkan dilaksanakannya rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas. Serta ada pula fraksi yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dalam situasi darurat bencana nasional Covid-19, tanpa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari fraksi, raker seharusnya belum bisa masuk ke agenda pembahasan berikutnya," terangnya lagi.
Pelaksanaan rapat dengar pendapat umum (RDPU) adalah bentuk pelaksanaan dari partisipasi masyarakat yang merupakan perintah langsung dari Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 juga telah mengatur bahwa setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
• Sulut Ketambahan 33 Kasus Covid-19, 1 Orang Meninggal Dunia
• PWI Sulut Bentuk Panitia Rakerda, Voucke: Kami Akan Verifikasi Kartu yang Masih Aktif
Sehingga hal ini mengindikasikan menutup transparansi dan partisipasi publik.
"Saat ini reaksi yang begitu keras menolak disahkannya UU Cipta Kerja ini setidaknya telah menimbulkan keresahan bagi publik, dan kaum pekerja pada khususnya. Olehb karena itu perlunya adanya respect dari eksekutif dan legislatif untuk dapat meninjau kembali UU Cipta Kerja ini," tukas Kairupan.
Ditambahkan, Kairupan pimpinan DPR-RI sekiranya dapat lebih arif dan bijaksana merespon tanggapan publik, bisa saja dengan melakukan koreksi atas kekeliruan prosedur dan cacat substansi pada RUU Cipta Kerja dengan mengembalikan RUU ini kepada Presiden.
Bahkan juga dapat memberikan teguran kepada Pimpinan Baleg yang dengan sengaja mempercepat proses pembahasan tingkat satu RUU Cipta Kerja ini, padahal RUU ini mendapatkan penolakan dari publik, baik dari aspek substansi maupun proses pembentukannya.
"Sangat disayangkan jika kebijakan UU Cipta Kerja ini justru mengakomodir kepentingan politis dari kaum elite, bukan mengakomodir kepentingan nasional. Hal ini justru akan menimbulkan keresahan dan gejolak dari kaum pekerja di Indonesia, dengan kekuatan mereka yang membilang angka 126,51 juta orang (berdasarkan data Agustus 2019) atau 47,25 persen dari jumlah penduduk," tandas Kairupan. (hem)