Tajuk Tamu Tribun Manado

Manguni: Hewan Pilihan Dewi Minerva di Romawi Kuno dan Ko'ko ni Mamarimbing di Minahasa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koleksi burung hantu (owl/Strigiformes) di Wale Manguni, Pinabetengan, Minahasa.

Ketika pemimpin upacara/ritus adat Minahasa Walian (Hua li an) memanggil Manguni, burung itu akan menanggapi panggilan tersebut dengan berbunyi dari kejauhan, lalu Walian akan memintanya mendekat seraya berseru: "Mangune". Ketika burung itu mendekat dan menjawab dengan berbunyi merdu 9 , Walian berseru: "Siou pa siow wan". berasal dari bahasa Han "jiu pa jiu wan" = 9 890 000 = sebagai ungkapan derajat tertinggi leluhur raja (Xian Wang = Sien Bong/pung).

Ada istilah lain untuk menyebut burung Manguni ini berdasarkan bunyinya. Totosik. Ternyata bunyi ini berasal dari bahasa Han, Ma tou ying si = Ma to tou ing sik. Menjadi "Ma to to sik" dalam bahasa Minahasa, yang berarti "burung Manguni berdesis" dalam bahasa Han.

Dengan cara ini, burung owl (Inggris) memberi peringatan akan adanya bahaya. Bahasa Han terkini Mandarin memberi nama owl atau burung hantu ini dari aktivitas memberi tanda negatif, yaitu "mao tou ying siik".

Sedangkan Minahasa Han memberi nama owl ini dari aktivitasnya memberi tanda positif. MA WANG YUN NE = mawangune = Mangune = Manguni.

Namun bahasa Minahasa juga memberi nama owl dari aktivitasnya memberi tanda negatif. Ketika burung berbunyi tidak merdu atau suara meluncur turun (sliding down), owl disebut "lo yot", pertanda ada malapetaka atau kematian.

Salah satu kesimpulan yang mungkin bisa ditawarkan pada sidang pembaca budiman bahwa nama "burung hantu" berasal dari aktivitas penanda dan tanda (negatif) yang dibunyikan dan ditafsirkan masyarakat umum.

Padahal orang Minahasa (dari etimologi bahasa Han!) justru sudah lebih dulu memberi nama resmi dan positif pada burung ini, tanpa menutupi sisi lain dari semiotik dan semantik yang melekat erat dalam tafsir simbol dan makna masyarakat Minahasa kuno.

Jadi, boleh dinyatakan bahwa leluhur Minahasa selalu berusaha melihat realitas apa adanya sekaligus melampauinya dengan wawasan dan kedalaman akal dan batinnya. Leluhur manusia Minahasa tidak pernah mau membiarkan diri dan peradaban kaumnya terjebak dalam struktur tampilan lahiriah melainkan selalu berani memprofilkan dirinya sejelas dan semurni mungkin, memaknai, dan bertindak transformatif secara gradual sirkuler dengan selalu sadar akan masa lalu demi masa depan!

Dr Beni Matindas menjelaskan permenungan kejeniusan lokal leluhur Minahasa seakan mengental padat berisi manakala dikisahkan bahwa burung Manguni pernah menempati piramida tertinggi dalam struktur hewan dewata pada masa awal kerajaan-kerajaan di negeri Tiongkok.

Setelah Manguni, menyusul naga dan hong, baru kemudian monyet, macan, dan harimau, dst. Konsep kultural spiritual dalam diri burung ini kemudian menghilang di sana, malah di Minahasa masih bertahan sampai abad postmodern ini.

Memahami teks dan konteks Manguni ini menghantar kita memahami peradaban tou Minahasa. Mendeskripsikan dan memahami "teks" (tradisi lisan maupun tulisan) dan "hermeneutika" burung Manguni, kiranya tak berlebihan bisa menghantar kita manusia beradab zaman now untuk mengungkapkan dan menegaskan salah satu sisi idealitas dan praksis hidup leluhur Minahasa di tengah lingkungan dan alam semesta, masa lalu dan masa depan dari generasi ke generasi.

Dalam konteks lebih besar, terkait penelitian dan kesimpulan temuan Boseke, bahwa leluhur Minahasa berasal dari negeri Han bahkan terkait dengan dan adalah penguasa negeri Han itu sendiri, apakah ini bisa ditawarkan sebagai upaya dekonstruksi atas pemahaman yang sudah ada?

Dalam arti tertentu Boseke sedang menawarkan sebuah dekonstruksi atas paham dan praksis yang selama ini sudah sekian lama diterima dan seolah tak pernah dikritisi lagi, sebagaimana tampak dalam kisah populer Toar Lumimuut itu sebagai rujukan leluhur pertama Minahasa, yang berjumlah seratus lebih versi. Kalaupun ada upaya kritis alternatif dari teori-teori yang pernah bermunculan (teori migrasi penduduk dari Yunan Selatan, Mongol, Filipina, Jepang, Austronesia, bahkan sampai sampai Timur Tengah, dari teori arkeologi kerang Passo, manusia kerdil Sawangan, sampai pegunungan Wulur Mahatus, dll.), tapi selalu tak ada kesimpulan akhir yang memadai.

Bisa dikatakan bahwa pembicaraan mengenai asal usul leluhur manusia pertama Minahasa selalu berawal dan berakhir kembali pada mitologi rakyat Lumimuut-Toar itu sendiri dengan segala penafsirannya yang terus berkembang, seiring dengan semakin banyaknya versi yang muncul seolah versi awal dan yang dianggap murni itu sendiri berjumlah 92 itu belum mencukupi. (LihatAda apa dengan Mitologi Lumimuut-Toar? Tawaran Dekonstruksi ala Boseke)

Mengutip epilog tulisan Valen, mungkin bisa diterapkan pada buku temuan terbaru tentang siapakah leluhur Minahasa itu. "Strategi dekonstruksi sebagai pembuka keluasan kemungkinan menyiratkan nasib dasar buku ini. Ia hanyalah pembuka bagi keluasan kemungkinan interpretasi bagi teks 'Mitologi Minahasa' yang terbuka dan sedang 'menjadi penuh'."

Halaman
123

Berita Terkini