Komnas HAM Sebut Kasus Ahok Luar Biasa, Tidak Selesai-selesai, Dunia Internasional Masih Bertanya

Editor: Ventrico Nonutu
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok.

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kasus penodaan agama disebut menimbulkan masalah karena tidak jelas batasannya.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik.

Menurutnya, Definisi penodaan agama cenderung memuat unsur diskriminatif terhadap minoritas.

• BACA: Gatot Nurmantyo Hampir Duduki Jabatan Prabowo, Eks Panglima TNI Dihubungi Langsung Presiden

• BACA: Covid-19 Cenderung Menyerang Penderita Jantung Daripada Diabetes & Hipertensi, Ini Alasannya

Taufan mencontohkan kasus penodaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

“Kasusnya Ahok itu luar biasa. Sampai hari ini tidak selesai-selesai. Di internasional orang masih bertanya bagaimana kasus Ahok,” kata Taufan dalam sebuah webinar, Jumat (21/8/2020).

“Seolah-olah kita begitu kelamnya hanya gara-gara kasus itu,” ucap dia.

Taufan mengatakan, regulasi terkait persoalan agama semestinya diatur dalam Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, realitanya, polisi sering juga mengenakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memproses hukum laporan mengenai penodaan agama.

Selain itu, Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian juga dijadikan acuan penegak hukum memproses persoalan yang berkaitan dengan agama.

"Jadi kadang-kadang enggak jelas batasannya, untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama, untuk kasus lain tidak. Ada unsur diskriminasi juga, terutama antara mayoritas dan minoritas," tutur dia.

Taufan menyebut, kasus penodaan agama di Jawa dan Sumatera jika dilakukan mayoritas maka akan selamat dari sebuah delik.

Namun, jika yang melakukan adalah minoritas, dia akan terkena delik penodaan agama.

Sebaliknya, di NTT kalau penodaan agama dilakukan oleh mayoritas, dia akan mengalami nasib yang sama seperti minoritas di Jawa dan Sumatera.

Oleh karena itu, Komnas HAM menyarankan agar dilakukan kajian ulang terhadap semua regulasi yang berpotensi mengganggu hubungan sosial dan kemerdekaan
individu agar tercipta suasana demokrasi.

"Kita tidak mampu merumuskan apa sebenarnya problem kita. Kita punya berbagai regulasi yang sebetulnya banyak menimbulkan masalah,” kata Taufan.

Halaman
12

Berita Terkini