TRIBUNMANADO.CO.ID, LONDON - Inggris menjadi negara teratas di Eropa dan kedua di dunia dalam jumlah kematian akibat virus corona. Tingkat kematian di negara itu hingga Kamis (7/5) melampaui 30 ribu orang.
• Gubernur Olly: Penanganan Covid-19 Harus Sejalan dengan Pusat
Sebanyak 30.076 orang dinyatakan meninggal dunia setelah dinyatakan positif Covid-19, dengan tambahan 649 orang meninggal dunia pada Kamis pagi. Menteri Perumahan, Kemasyarakatan, dan Pemerintah Daerah Inggris, Robert Jenrick mengatakan jumlah kematian itu merupakan kehilangan yang memilukan.
Sehari sebelumnya, jumlah kematian di Inggris melampaui Italia. Saat ini, jumlah kematian di Italia mencapai 29.684 orang. Sedangkan Amerika Serikat tetap berada di urutan pertama, lebih dari 70 ribu orang meninggal dunia.
Dalam konferensi pers perkembangan Covid-19 di Inggris, Jenrick mengatakan, "Sangat sulit untuk membuat perbandingan internasional secara pasti, dibutuhkan waktu untuk melakukannya."
Profesor Sir David Spiegelhalter, anggota tim pakar yang memberi rekomendasi kepada pemerintah Inggris selama pandemi, mengatakan Inggris seharusnya berkaca pada negara-negara lain untuk mempelajari mengapa angka kematian kita sangat tinggi".
• Citilink Layani Penerbangan Domestik Mulai 8 Mei, Bagaimana dengan Rute dari Manado?
Sebelumnya pemimpin Partai Buruh Sir Keir Starmer mengatakan pemerintah terlalu lambat memberlakukan karantina wilayah dan terlalu lambat meningkatkan jumlah tes. Ia bertanya kepada Perdana Menteri Boris Johnson tentang peningkatan jumlah kematian di tempat perawatan.
"Dua belas pekan setelah Menteri Kesehatan mengumumkan kita dalam krisis kesehatan, saya harus bertanya kepada Perdana Menteri, mengapa pemerintah belum siap akan hal ini?”
Jumlah pengetesan virus corona di Inggris turun drastis ke angka terendah selama sepekan terakhir. Pemerintah hanya melakukan 69.463 tes dalam 24 jam terakhir.
Sebelumnya, Inggris berjanji melakukan 100 ribu tes sehari sejak awal Mei, namun baru berhasil mencapai jumlah itu pada dua kesempatan. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan ambisinya k meningkatkan kapasitas pengujian virus corona menjadi 200 ribu sehari pada akhir Mei.
Pada Selasa, Inggris mencatat 6.111 kasus baru Covid-19, jumlah harian tertinggi ketiga sejauh ini. Lebih dari sembilan pekan sejak Inggris mencatat kematian pertamanya pada 2 Maret, kisah-kisah mereka yang meninggal terus muncul.
Kisah itu di antaranya adalah Jennie Sablayan, seorang perawat hematologi berusia 44 tahun yang bekerja di University College London Hospital selama lebih dari 18 tahun. Rumah sakit mengatakan ia merupakan seorang ahli di bidangnya yang merawat pasien kanker penuh dedikasi.
Kisah lain tentang teknisi farmasi senior layanan kesehatan Inggris, Jermaine Wright, 45 tahun, yng dideskripsikan sebagai sosok ramah., menyukai makanan dan sepakbola. Sebanyak lima warga kini meninggal dunia di rumah perawatan pusat wabah Covid-19 di Pulau Skye.
Orang India
Hasil penelitian University College London (UCL) menyebut orang Asia, kelompok-kelompok kulit hitam di Inggris, dan etnis minoritas (BAME) berisiko dua hingga tiga kali meninggal akibat Covid-19 dibandingkan dengan populasi umum.
"Analisis ini menunjukkan kematian akibat Covid-19 secara proporsional lebih tinggi pada kelompok kulit hitam, Asia, dan minoritas," kata Dr Delan Devakumar, penulis studi. Analisis yang diterbitkan Wellcome Open Research ini menggunakan data NHS dengan 16.272 pasien yang meninggal di rumah sakit di Inggris dan dinyatakan positif Covid-19, antara 1 Maret dan 21 April.
Data tersebut mengungkapkan risiko kematian sekitar 3,24 kali lebih tinggi untuk orang kulit hitam, 2,41 kali lebih tinggi untuk orang Bangladesh, 2,21 kali lebih tinggi untuk orang kulit hitam Karibia, dan 1,7 kali lebih tinggi untuk orang India, dibandingkan dengan populasi umum.
• Isi Surat Michael untuk Elvina Setelah Membunuhnya Secara Sadis : Saya sangat mencintai Elvina
Untuk kelompok etnis, jumlah total kematian terbesar adalah orang India, 492 kematian dari 16.272 pasien. (India adalah kelompok etnis minoritas tunggal terbesar di Inggris.) Para ahli mengatakan, hambatan mengakses layanan kesehatan serta faktor-faktor risiko sosial dan ekonomi bisa menjadi alasannya.