TRIBUNMANADO.CO.ID - Prosesi pemakaman jenazah Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Teheran, ibukota Iran, Senin (6/1), berlangsung dramatis.
Penyelenggara prosesi pemakaman bahkan mengeluarkan pengumuman mengenai adanya hadiah sebesar 80 juta dolar AS atau setara Rp 1,1 triliun bagi mereka yang dapat membunuh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Iran memiliki 80 juta penduduk. Kami ingin mengumpulkan 80 juta dolar AS untuk hadiah bagi mereka yang dapat membawa kepala Presiden Trump.
Kami ingin setiap penduduk Iran menyumbang 1 dolar untuk hadiah tersebut," ujar sebuah pengumuman yang disampaikan dalam prosesi pemakaman Qassem.
Ribuan orang yang mengenakan pakaian serba hitam berkumpul di Teheran untuk mengikuti prosesi penghormatan terakhir terhadap Komandan Pasukan Quds yang tewas di Baghad, Irak, Jumat lalu.
Jenazah Qasem Soleimani tiba di Teheran pada Minggu, setelah sebelumnya diterbangkan dari Baghdad ke Kota Ahvaz.
Sebelum dimakamkam di Kota Kerman, kampung halaman almarhum, Selasa, jenazah Qassem akan disemayamkan di Qom, sebuah kota suci Shiah di selatan Teheran.
Para pelayat membawa potret Qassem Soleimani dan mengibarkan bendera Iran.
Mereka meneriakkan yel-yel, "Hancurkan Amerika!".
Qassem Soleimani sangat dihormati dan dicintai di Iran sehingga negara itu mendeklarasikan tiga hari berkabung nasional.
Putri Qasem Soleimani sempat berorasi di kampus Universitas Teheran.
Ia menyebut kematian ayahnya akibat serangan rudal dari drone (pesawat tak berawak) militer AS akan membawa hari-hari gelap bagi Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Zeinab Soleimani, putri almarhum, di depan massa mengatakan Presiden Trump telah gagal merencanakan niat jahat memisahkan Irak dan Iran melalui pembunuhan terhadap ayahnya pemimpin milisi Irak, Abu Mahdi Al Muhandis.
"Trump, Anda penjudi kompulsif. Rencana jahat Anda untuk memisahkan dua negara, Irak dan Iran, dengan cara membunuh Qassem dan Abu Mahdi, telah gagal.
Itu justru menghasilkan persatuan historis antara dua negara dan kebencian abadi terhadap Amerika Serikat, "kata Zeinab Soleimani.