Keempat, pasal 419 tentang Hidup Bersama.
Baca: VIRAL Foto dan Video Durasi 2 Menit Adegan Tak Senonoh Wanita yang Diduga ASN, Ini Tanggapan Pemprov
Baca: Begini Isi Rumah Dinas Menpora Imam Nahrawi, Miliki Ruang Tamu Unik hingga Lapangan & Kolam Pribadi
Baca: Peringatan Dini BMKG Gelombang Tinggi Mencapai 4 Meter Besok Sabtu 21/9/2019 di Wilayah-wilayah Ini
FOLLOW INSTAGRAM TRIBUN MANADO
Menurutnya, kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri dalam draft terbaru telah ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.
Padahal menurutnya dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
Sehingga perubahan itu akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.
"Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan," kata Azriana.
Kelima, pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan.
Menurutnya pasal itu akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.
Ia menilai, pasal itu tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan.
Karena menurutnya kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu.
Ia menilai dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RKUHP dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.
Baca: Respon PSI Terhadap Putusan Jokowi Tunda RKUHP, Terima Kasih Sudah Mendengar Suara Rakyat
Baca: Keanehan Setelah Mbah Pani Akhiri Tapa Pendem, Fenomena Liang Kubur Terus Keluarkan Air
Baca: Kisah Rumah yang Dikepung Kompleks Apartemen, Lies Sampai Harus Bayar Karcis Masuk ke Pengelola
Selain itu menurutnya, pasal itu juga akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.
"Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," kata Azriana.
Keenam, pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida).
Menurutnya, rumusan pasal itu diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah).