TRIBUNMANADO.CO.ID - Rekonsiliasi Presiden terpilih Joko Widodo dengan mantan Calon Presiden Prabowo Subianto tak sekadar memperbaiki stabilitas politik Indonesia. Pertemuan Jokowi dan Prabowo pada Sabtu (13/7) lalu turut berpengaruh kepada stabilitas perekonomian.
Bukti pengaruh rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo adalah menguatnya nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank pada Senin (15/7). Rupiah menguat 88 poin atau 0,63 persen menjadi Rp13.920,- per dollar Amerika Serikat.
Baca: Jumlah Warga Miskin Turun: Ini Penjelasan BPS
Pada penutupan perdagangan Jumat (12/7) lalu nilai tukar rupiah adalah Rp14.008,- per dollar AS. Sedangkan berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, rupiah berada di posisi Rp13.970,- per dollar AS.
Pada pembukaan Senin (15/7), nilai tukar rupiah adalah Rp13.994,- per dollar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp13.895,- hingga Rp13.994,- per dollar AS.
"Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo Sabtu lalu memperbaiki stabilitas politik dalam negeri dan diharapakan juga mendorong stabilitas perekonomian," ujar Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi di Jakarta, Senin (15/7) seperti dikutip dari Antara.
Pemaparan Visi Indonesia oleh Presiden Joko Widodo turut memberikan pengaruh terhadap penguatan nilai tukar rupiah. Melalui pidato tersebut investor mendapatkan gambaran soal arah kebijakan pemerintahan periode kedua Jokowi.
Baca: Pimpinan DPR Divonis 6 Tahun: Ini Sanksi Politik buat Taufik Kurniawan
Terdapat lima fokus pembangunan dalam pidato tersebut, yaitu infrastruktur, sumber daya manusia, investasi, reformasi birokrasi dan optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Tidak terlampau jauh dibandingkan yang pertama. Hanya penguatan di sana-sini," kata Ibrahim.
Sentimen positif juga disebabkan oleh data nilai ekspor Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia pada Juni 2019 mencapai 11,78 miliar dollar AS.
Nilai impor Indonesia pada periode yang sama mencapai 11,58 miliar dollar AS. Hal tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus hampir 200 juta dollar AS, meski tidak sesuai ekspektasi pasar yang sebesar 516 juta dollar AS.
Baca: Tiga Partai Politik Berpeluang Usung Calon di Pilkada 2020
Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo turut berimbas kepada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia. IHSG Senin (15/7) sore ditutup menguat 44,89 poin atau 0,7 persen ke posisi 6.418,23. Kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 naik 10,79 poin atau 1,06 persen menjadi 1.028,14.
Dikutip oleh Antara, M Nafan Aji Gusta, analis dari Binaartha Sekuritas, Senin (15/7) mengatakan penguatan IHSG disebabkan oleh euforia pasar terkait rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo. Penyebab kedua adalah data neraca perdagangan Juni 2019 yang mengalami surplus 196 juta dollar Amerika Serikat.
Aksi beli saham oleh investor asing mengiringi penutupan IHSG. Jumlah beli asing atau net foreign buy mencapai Rp583,67 miliar.
Frekuensi perdagangan saham mencapai 575.959 kali transaksi. Jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 18,27 miliar lembar saham senilai Rp8,85 triliun. Sebanyak 227 saham mengalami kenaikan nilai, 183 saham turun dan 152 saham tidak bergerak.
Emas Tetap Aset Investasi Paling Aman
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve memberi sinyal kuat akan memangkas suku bunga acuan di pertemuan akhir bulan ini. Kebijakan moneter bank sentral AS tersebut bakal mempengaruhi pergerakan aset safe haven.
Jelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC), harga aset safe haven memang cenderung datar. Penyebabnya, risk appetite pelaku pasar tengah meningkat, sehingga harga aset safe haven tak banyak bergerak.
Dollar AS misalnya. Menilik pergerakan indeks dollar AS, instrumen ini cuma turun tipis. Jumat lalu (12/7), indeks dollar AS bertengger di 96,81. Dalam sepekan terakhir , indeks ini cuma turun 1,04%.
Harga emas spot juga tak banyak berubah. Akhir pekan lalu, harga emas bertengger di US$ 1.412,20 per ons troi, cuma naik tipis dari US$ 1.400,10 di pekan sebelumnya.
Meski begitu, sejumlah analis menilai aset safe haven bakal kembali diburu. Sebab, ada potensi ketidakpastian di pasar kembali menguat.
Alasannya, meski sinyal penurunan suku bunga cukup kuat, sejumlah data ekonomi AS ternyata cukup oke. Inflasi AS di Juni mencapai 0,1%, lebih baik dari ekspektasi pasar. Indeks harga konsumen inti juga naik sekitar 0,3%.
Direktur Utama Avrist Asset Management Hanif Mantiq menilai, instrumen emas masih menjadi safe haven paling menarik saat ini. Sedangkan aset lindung nilai dalam bentuk valuta asing (valas) seperti dollar AS. "Emas lebih menarik, karena dollar AS diperkirakan melemah akibat rencana The Fed memangkas suku bunga acuannya," kata Hanif kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Prediksi Hanif, harga emas masih naik hingga tahun depan. "Sehingga, bagi yang ingin berinvestasi bisa menyisihkan 5%-10% dananya untuk berinvestasi emas," saran dia.
Direktur Utama Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana juga berpendapat emas akan menjadi pilihan investasi menarik selain obligasi pemerintah. "Pilihan selanjutnya adalah saham atau reksadana saham," jelas Jemmy, Minggu (14/7).
Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi memprediksi, harga emas bisa tembus ke level US$ 1.500 per ons troi. Harga emas di bursa Comex untuk pengiriman Agustus 2019 sudah naik 8,61% sepanjang tahun ini di US$ 1.412,20 per ons troi.
Menurut Nanang, harga emas spot ke depannya masih akan naik. Ini berkaca dari pergerakan emas di akhir Juni lalu yang bertahan di support US$ 1.367,19 per ons troi. Sedangkan level resistance di US$ 1.437,50 per ons troi.
Bila sulit membeli emas di pasar spot, prospek emas batangan juga menarik. Nanang menuturkan, investor yang tertarik membeli emas batangan Antam bisa masuk mulai saat ini. "Ini dengan mempertimbangkan data inflasi dan data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari perkiraan. Kedua data tersebut menjadi kunci bagi The Fed untuk memutuskan suku bunga," jelas dia.
Risiko valas
Nanang menilai safe haven dalam bentuk valuta asing (valas) masih berisiko. Banyak sentimen yang bisa menekan kinerja valas. Termasuk di antaranya kebijakan moneter masing-masing bank sentral yang bisa mempengaruhi pergerakan mata uang.
Misalnya, jika The Fed batal memangkas suku bunga acuan maka ada potensi bagi kurs euro akan menguat terhadap dollar AS. Sedangkan kalau harus membandingkan dollar AS dengan yen Jepang. Hanif menilai, pergerakan dollar AS jauh lebih baik.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto, mengingatkan, investasi sebaiknya tidak diperuntukkan untuk jangka pendek, sehingga berubah seiring perubahan kebijakan moneter seperti saat ini. Investasi idealnya disesuaikan dengan tujuan investasi.
Untuk jangka panjang, Rudiyanto menilai, tren penurunan suku bunga acuan bank sentral akan berdampak positif, khususnya terhadap kinerja saham dan obligasi. Khusus di dalam negeri, kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan lebih berdampak ke pasar modal ketimbang kebijakan The Fed.
"Kalau misalkan suku bunga sudah diumumkan turun, maka sebaiknya menunggu harga naik dulu. Sebab ini berarti sudah ketinggalan untuk investasi," ujar Rudiyanto. Dia menyarankan, yang penting investor melihat apakah valuasinya sudah terlalu mahal atau tidak.
Menurut Rudiyanto, valuasi obligasi saat ini masih belum terlalu mahal, sehingga masih berpotensi untuk naik. Sedangkan untuk safe haven yang bisa menjadi alternatif investasi menurut dia adalah reksadana pasar uang.****
Tabel:
Pertumbuhan Nilai
Aset Investasi (%)
Hingga 12 Juli 2019
IHSG
2,89
Emas
8,61
Emas Antam
5,09
USDIDR
(2,65)
SGDIDR
(2,31)
Sumber: Riset KONTAN
(Tribun Network/deo/Intan Nirmala Sari/Adrianus Octaviano)