TRIBUNMANADO. CO. ID - Apresiasi kepada pasangan 02 yang akhirnya mengikuti rule of the game. Sesuai UU, kalau tidak luas atas hasil penghitungan suara maka ada ruang lakukan gugatan.
UU nomor 7 tahun 2017 memberikan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang punya kompetensi untuk mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Dalam hal ini, Prabowo-Sandiaga sudah menggunakan hak sesuai mekanisme dan prosedur perundang-undangan.
Tapi, melihat surat permohonan disampaikan kuasa hukum pasangan 02 pada sidang perdana MK, kesan yang saya tangkap pertama, konten surat gugatan merupakan akumulasi dari semua persoalan yang ada pada proses penyelenggaran Pilpres.
Harusnya ini penyelesaiannya lewat tahapan sebelumnya, karena sesuai UU sudah diatur kewenangan antar lembaga.
Misalnya pelanggaran administrasi, atas dasar rekomendasi bawalsu maka bisa langsung dilakukan pembetulan.
Baca: Nekat, Pria 20 Tahun Ini Pegang Pisau lalu Cegat Mobil Tim Khusus Reskrim Polresta
Baca: Inilah Anggota Tim Khusus Polresta Yang Dicegat Pria 20 Tahun Menggunakan Pisau
Baca: Di Puncak Soguo Bisa Nikmati Keindahan Panorama Pantai
Jika ada pelanggaran sifatnya pidana maka akan diproses Gakumdu selanjutnya diadili Pengadilan Negeri yang adalah kewemangan di bwah lembaga MA
Jadi yang terjadi konten gugatan 02 itu MK menampung semua persoalan, mulai dari administratif, pidana serta PHPU.
Sesuai UU ada batasan kewenangan .
MK hanya sebatas memeriksa kasus PHPU yang didasari dan merujuk pada bukti-bukti, kemudian bisa membatalkan hasil penghitungan 21 Mei 2019 oleh KPU. Sesuai dengan perhitungan yang benar versi pemohon.
Itu lingkup batasan diberikan UU ke MK Persoalan lain yang diangkat tidak seharusnya itu dilimpahkan semua ke MK.
Kami berhaeap ketika pasangan 02 lewat kuasa hukum mendalilkan penghitungan versi mereka yakni Prabowo menang 52 perzen dan Jokowi 48 persen. Tentu semua pihak menunggu fakta hukum berupa bukti bukti.
Selain itu 02 lebih banyak singgung ke Penyelenggaraan Pemilu yang Terstruktur Sistematis Masif (TSM)
Tapi membuktikan dugaan TSM jangan hanya asumsi, perlu ada fakta yuridis.
Kemudian mengungkit soal kecurangan sifatnya hukum pidana, minimal ada di beberapa tempat yang telah terbukti, meyakinkan dan inkrah, jadi benar ada kecurangan yang sudah terproses.
Jadi semua aalil harus dibuktikan, tidak bisa hanya kemukakan asumsi, teori hanya sekadar menuduh tanpa fakta.
Kemudian istilah TSM itu muncul dari pelaksaan Pilkada dalam lingkup daerah. Kemudian di pemilu, 02 menggiring juga TSM.
Berarti buktikan paling tidak mayoritas provinsi, semisal KPU bertindak tidak sesuai UU itu dengan kategori kecurangan terstruktur secara lembaga.
Tinggal bagaimana tanggapan kubu 01 sebagai pihak terkait dan KPU sebagai termohon akan diberi kesempatan pada sidang selanjutnya.
Bisa saja KPU akan keberatan menyangkut syarat formil ketika diajukan satu gugatan.
Jika syarat formil tidak terpenuhi maka materil tidak akan berlanjut.
Jika syarat formil terpenuhi, pasti ada tanggapan di sidang berikutnya
Kemudian, jika argumen dikabulkan nisa ada putusan sela.
Intinya ketika mendadil kecurangan buktikan penghitungan 02 yang benar dan KPU yang salah.
Kemudian, bukti pendukung sudah harus diajukan dan harus mempengaruhi pembatalan. Ngapain capek sidang jika hanya asumsi
Positifnya gugatan ke MK mengakhiri gaya jalanan yang sealma ini digemborkan, sempat pula menuding MK sudah terkoptasi.
Tapi gugatan ini sudah memberikan satu pencerahan bahwa pasangan 02 taat hukum, dan apresiasi juga sudah mengimbau jangam demo saat sidang MK berlangsung.
Kemudian tegas juga pernyataan kedua kubu baik 01 dan 02 akan menghargai dan menghormati putusan, apapun putusan MK. Kalau terjadi maka itu hal yang luar biasa. (ryo)