Kisah Pilu Kaum LGBT di Manado, Mengaku Dipersekusi, Berhenti Sekolah hingga Diusir dari Gereja

Penulis: Arthur_Rompis
Editor: Aldi Ponge
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilsutrasi

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) terus tumbuh di Manado.

Data yang diperoleh Tribun Manado dari KPA Sulut serta sejumlah komunitas, jumlah kaum LGBT di Manado berkisar 3.000 hingga 5.000 orang.

Kisah mereka di Manado bak kisah para penyihir di eropa pada abad pertengahan.

Mereka secara tak langsung bagai diburu, dipersekusi, didiskriminasi bahkan dikriminalkan.

Pelakunya bisa teman, guru, pelayan masyarakat, aparat keamanan, bahkan keluarga terdekat atau orang tua.

Baca: Akibat Pesta Miras, 4 Penyuka Sesama Jenis Diamankan Patroli Polresta Manado

Tokoh agama yang mustinya melindungi yang tersisih, malah ikut - ikutan mendiskriminasi.

Tribun Manado melakukan reportase tentang kehidupan kaum LGBT di Manado.

Terungkap kepedihan mereka yang selama ini tersembunyi rapat.

Bagaimana mereka terombang ambing antara menerima atau menolak orientasi seks yang berbeda, perasaan tertolak, minder, ingin bunuh diri dan yang paling tragis menggugat keadilan Tuhan setelah doa yang bercucuran air mata.

"Kami juga tak ingin dilegalkan, tapi mohon jangan tindas kami, kami juga manusia ciptaan Tuhan," kata
Boy - sebut saja demikian - seorang diantaranya kepada Tribun Manado di salah satu cafe, Senin (3/9/2018).

Boy bercerita mengenai perjalanan hidupnya yang penuh airmata. Kekerasan telah ia alami sejak TK.

"Saya dilecehkan, dianggap mahluk yang rendah, semua menghina saya, termasuk guru," kata dia.

Baca: Sidang Kasus Pemecah Ombak, Bupati Minut Kembali Tak Hadir, Mantan Kapolres Manado Bantah Terlibat

Pengalaman di TK itu begitu traumatis bagi Boy. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk membuka rapor TK nya.

"Guru TK saya tulis di rapor jangan banyak bermain dengan perempuan, " kata dia.

Ia mengaku sudah merasakan perbedaan orientasi seksual sejak kecil.

Perbedaan itu makin terasa kala ia akil balik.

"Keluarga dan lingkungan katakan itu salah, tapi saya tak kuasa menolak orientasi itu," kata dia.

Frustasi, ia coba lari ke dunia malam. Tak ada kedamaian di sana.

Suatu hari, ia masuk ke gereja dan tersentuh dengan khotbah pendeta.

"Akhirnya saya memutuskan menjadi pelayan Tuhan, saya ingin betul - betul melayani," ujar dia kata dia.

Namun kenyataan yang ia peroleh jauh dari harapan. Dia malah makin ditekan.

"Mereka katakan saya tidak layak layani Tuhan, harus bertobat, " katanya.

Ujung - ujungnya, Boy dikeluarkan dari pelayanan. Ia merasa hidupnya hancur. "Saya berada di titik nadir, " kata dia.

Baca: Kaka Slank Dukung Penyelamatan Pulau Bangka dari Tambang Bijih Besi, Begini Tanggapan PT MMP

Boy kala itu menggugat hidupnya. Tuhan pun ia gugat. "Saya sampai katakan Tuhan engkau tidak adil, " kata dia.

Beberapa kali Boy nyaris mengakhiri hidupnya. Tiga tahun lamanya Boy terbenam dalam rasa frustasi.

"Kemudian saya membaca banyak literatur, disitu akhirnya saya tahu, gay itu bukan dosa, dari situlah saya bangkit, menata hidup," kata dia.

Selanjutnya, Boy beroleh berbagai saluran hidup. Ia pun makin mantap dengan orientasi seksualnya.

"Kuncinya adalah menerima orientasi seksual dalam diri," kata dia.

Meski demikian, sejatinya ia masih bergumul.

"Secara jujur saya, masih ada bagian diri saya yang belum menerima, tapi secara umum saya lebih plong," kata dia.

Baca: Disenggol Sepeda Motor Saat Menyeberang di Depan Mantos, Kaki Turis Cina Ini Terluka

Terhadap agama ia kini punya pandangan sendiri.

Baginya Yesus adalah seorang aktivis kemanusiaan pembela kaum yang terhina.

"Saya sendiri berserah jika Memang Tuhan tak menerima saya, tapi saya tetap melayani, pelayanan saya kini adalah memberdayakan kaum LGBT," beber dia.

LGBT disabilitas

Sera (bukan nama sebenarnya) bernasib lebih buruk. Selain LGBT, ia juga disabilitas.

"Saya sering dihina, dibilang banci cacat, sepertinya seluruh dunia membenci saya," kata dia.

Penolakan masif membuat Sera tak mau sekolah. Ia pun enggan keluar rumah. "Saya hanya mengunci diri dalam kamar," kata dia.

Beberapa kali ia nyaris bunuh diri. Satu yang menguatkan Sera adalah dorongan orang tua.

Kedua orang tuanya menerima apa adanya kondisi sang anak. "Dari jatuh saya bangkit, ikut komunitas, " kata dia.

Dalam komunitas ia menggali bakatnya. Ketahuan ia punya minat dalam dunia tulis menulis.

Ia ingin suatu hari menulis novel tentang kisahnya itu.

Baca: Tim Tarsius Polres Bitung Tangkap Dua Tersangka Penodong Bocah

Dona, gay lainnya harus melupakan cita citanya menjadi seorang pekerja.

Dirinya terpaksa berhenti sekolah gara gara tak tahan dipersekusi.

Padahal ia termasuk murid berotak encer.  "Saya tak tahan selalu diledek, " kata dia.

Sebut Dona, saat bersekolah di sd, rumahnya hanya berjarak 15 meter dari sekolah.

Namun perjalanan ke sekolahnya memakan waktu hampir setengah jam.

"Karena dia tidak mampu melawan ledekan dari para tetangganya hingga memilih jalan yang lebih jauh," kata dia.

Baca: Den Harin, Pasukan Khusus Paling Misterius, Wolter Mongisidi Personelnya Paling Ditakuti Belanda

Sekolah baginya adalah sebuah siksaan karena musti menghadapi persekusi murid dan guru.
Tak tahan, ia pun berhenti sekolah.

"Saya terpaksa melepaskan cita cita menjadi pekerja handal," ujarnya.

Untuk menyambung hidup, ia terpaksa kerja serabutan.

Pernah ia mangkal di pusat kota.

"Kalau tidak demikian kami mau makan apa," kata dia.

Saat mangkal itu, dirinya pun berakting. Ia selalu menebar senyum.

Baca: Gerilyawan asal Manado Ini Miliki 9 Nyawa di Filipina, Tewas saat Kudeta Westerling di Bandung

Seperti terlihat tak pernah dirundung sedih.

"Padahal sepulang dari sini saya menangis, berurai airmata, " kata dia.

Ilustrasi LGBT. (Thinkstock)

kerap mengalami kekerasan

Kajawali Coco, salah satu aktivis membeber, kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) kerap mengalami kekerasan. 

"Pernah kami adakan penelitian di tiga kota yakni Manado, Tomohon serta Bitung, ada 78 responden yang kami 
tanyai, semua mengaku pernah mendapatkan kekerasaan baik fisik maupun psikis," kata dia.

Penelitian lainnya, beber dia, terungkap jika kasus bunuh diri di kalangan kaum LGBT tinggi.

Baca: Kaca Mobil Dipecahkan Pencuri, Candra Modeong Kehilangan Laptop, Ponsel dan Uang Rp 6,5 Juta

Mengenai jumlah kaum LGBT, menurut Coco, sulit bicara angka real.

"Kita selalu terjebak di stigma bahwa kaum LGBT pria selalu bertingkah mirip perempuan, itu tak benar, bisa saja ada pria kekar tetapi ternyata punya orientasi seksual berbeda, " kata dia.

Ia menjelaskan lebih lanjut, orientasi seksual sama sekali tak berhubungan dengan perilaku seksual.

Kaum awam seringkali menuding orientasi seksual yang berbeda sebagai penyebab penyimpangan perilaku seks.

"Lantas bagaimana dengan pria menikah yang selingkuh, " kata dia.

Baca: Sempat Buron, Tersangka Penikaman Akhirnya Diborgol Timsus Polresta Manado

Ia menyebut kaum LGBT masih belum diterima di Manado.

Hal itu ditengarai karena budaya patriarka di Manado masih kuat.

Terkait hal itu ada yang unik. "Kalau di Manado bagian utara lebih bisa menerima, sedang di selatan lebih ketat, " beber dia.

Dikatakan Coco, kaum LGBT di Manado umumnya masih takut mengekspresikan orientasi seksualnya.

Mereka tertekan struktur sosial arus utama.

"Mereka coba hidup seperti biasa, bahkan menikah, tapi ya tersiksa, " kata dia. (art)

Tags:

Berita Terkini