Kemenag Sulut
Refleksi Hari Guru Nasional: Memuliakan Guru, Menuai Berkah
Refleksi Hari Guru Nasional 2025 menegaskan bahwa guru adalah penopang utama peradaban.
Oleh: Dr. Drs. H. Ulyas Taha, M.Pd
(Kepala Kanwil Kemenag Sulut)
HARI Guru Nasional 2025 membawa kita menatap kembali inti terdalam dari pendidikan: sebuah jalan panjang untuk memanusiakan, menumbuhkan, dan menuntun manusia menuju keutuhan dirinya.
Tema yang diangkat Kementerian Agama RI, “Merawat Semesta dengan Cinta,” mengajak kita menyadari bahwa guru bukan sekadar profesi, bukan sekadar pengampu kurikulum, tetapi penjaga peradaban yang menghubungkan ilmu, nilai, dan kemanusiaan.
Dalam dunia yang semakin tergesa, sesak oleh beban teknokrasi, diburu target kurikulum, dan dipaksa berkejaran dengan digitalisasi, tugas untuk merawat semesta tampak nyaris utopis.
Namun justru karena itulah guru dibutuhkan bukan untuk melawan zaman, tetapi untuk menjaga keutuhan batin manusia di tengah arus perubahan.
Dalam tradisi Islam, pendidikan bukan semata transmisi pengetahuan.
Ia adalah tazkiyatun nafs, penyucian jiwa, sekaligus ta’dib, penataan adab sebagaimana digarisbawahi Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Education in Islam (1980).
Pendidikan menyentuh seluruh aspek kemanusiaan, dari akal, hati, hingga tindakan.
Guru, dengan demikian, adalah pembimbing perjalanan spiritual dan intelektual.
Al-Farabi dalam Al-Madina al-Fadilah (940) menggambarkan masyarakat utama yang hanya mungkin terwujud jika ada figur-figur yang menanamkan kecintaan pada kebaikan.
Guru adalah figur itu—pemegang peran kecil tapi fundamental yang menentukan arah masa depan bangsa.
Ia merawat semesta bukan hanya dengan ilmu, tetapi dengan cinta: cinta pada murid, pada proses, pada nilai, dan pada masa depan.
Ibn Sina dalam Al-Shifa’ (1027) menekankan bahwa pendidikan adalah usaha “membawa jiwa manusia melalui tahapan-tahapan menuju kesempurnaan.”
Dalam arti ini, guru bukan sekadar penyedia jawaban, melainkan pembuka jalan bagi murid untuk mengenali dirinya, dunianya, dan Tuhannya.
Cinta guru—yang tidak sekadar emosional tetapi berakar pada niat baik dan kebijaksanaan—membantu murid melihat dunia bukan sebagai ruang kompetisi semata, tetapi sebagai tempat menjalani amanah.
Keutuhan cinta ini menjadi penting ketika kita menyadari adanya krisis kepercayaan dalam dunia pendidikan.
Orang tua semakin mudah mencurigai guru; murid semakin sulit menghormati; masyarakat semakin cepat melabeli; media sosial memperkeruh keadaan.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah (1377) menjelaskan bahwa sebuah peradaban mulai goyah ketika otoritas ilmu tidak lagi dihormati dan hubungan antargenerasi melemah.
Fenomena ini tampak jelas hari ini ketika guru dihadapkan pada dua tekanan sekaligus: tuntutan kompetensi tinggi dan penurunan wibawa moral.
Di sinilah cinta harus kembali menjadi fondasi. Guru yang memancarkan cinta tidak kehilangan otoritas; otoritasnya tumbuh bukan dari ketakutan, melainkan dari keteladanan.
Relasi yang lahir dari cinta selalu lebih kuat daripada relasi yang lahir dari ancaman.
Namun cinta dalam pendidikan tidak berarti kelembutan yang membiarkan.
Al-Ghazali dalam Ayyuha al-Walad (1050) mengingatkan bahwa murid perlu diluruskan “dengan kasih, bukan dengan amarah.” Tegas dalam mendidik bukan berarti keras; adil bukan berarti menghukum; mengasuh bukan berarti mengabaikan disiplin.
Di masa ketika isu kekerasan di sekolah ramai dibicarakan, ketika guru harus berhati-hati menegur murid karena rentan dipersoalkan, kita perlu mengingat kembali seni ketegasan yang mengasuh.
Ketegasan yang mengasuh lahir dari cinta, bukan ego. Ia memerhatikan dampak jangka panjang, bukan sekadar kepatuhan sesaat. Ia menguatkan karakter, bukan memaksa kepatuhan.
Guru yang mampu menghadirkan ketegasan yang mengasuh sedang menjalankan salah satu tugas paling penting dalam pendidikan: menuntun murid memahami konsekuensi moral dari perbuatannya.
Tantangan lain yang semakin besar adalah transformasi digital. Teknologi membawa harapan sekaligus ancaman.
Di satu sisi, ia membuka akses pada sumber belajar yang tak terbatas; di sisi lain, ia menggerus kedalaman, mempercepat distraksi, dan menempatkan guru dalam posisi rentan.
Banyak murid kini dapat mencari jawaban lebih cepat dari internet dibanding mendengar penjelasan di kelas.
Namun sebagaimana ditegaskan Ibn Sina, teknologi—meski dalam bentuk instrumen ilmu pada zamannya—tidak boleh mengambil alih fungsi pembimbingan jiwa.
Pendidikan bukan sekadar soal menemukan jawaban, tetapi memahami makna. Dalam ruang ini, guru tidak tergantikan.
Ia memberi orientasi moral, menuntun penggunaan teknologi secara beradab, dan mendampingi murid mengolah informasi menjadi kebijaksanaan.
Al-Attas menekankan bahwa tanpa adab, ilmu dapat membawa kerusakan lebih cepat daripada kebaikan.
Prinsip ini sangat relevan dalam dunia digital hari ini. Teknologi mampu mempercepat segalanya, termasuk kebingungan jika tidak dipandu oleh cinta dan adab.
Selain itu, hubungan rumah dan sekolah hari ini mengalami keretakan yang perlu disembuhkan.
Banyak orang tua menyerahkan sepenuhnya urusan moral kepada guru, sementara sebagian lain menuntut guru secara berlebihan.
Guru merasa diawasi, bukan didukung. Padahal pendidikan sejatinya adalah kolaborasi. Ibn Khaldun menyebut keluarga sebagai pilar stabilitas sosial.
Jika rumah retak dan sekolah dilemahkan, maka anak kehilangan jangkar emosionalnya. Tema “Merawat Semesta dengan Cinta” mengingatkan kita bahwa merawat anak membutuhkan cinta yang dibagi, bukan diklaim sepihak.
Rumah mendidik dengan kehangatan pertama; sekolah memperluasnya. Guru dan orang tua harus bersama, bukan saling menuding.
Ketika kepercayaan disulam kembali, anak menemukan ruang aman untuk bertumbuh.
Guru juga memikul misi besar sebagai penabur kesadaran peradaban.
Mereka bukan hanya pengajar materi, tetapi penjaga nilai keseharian: kejujuran, integritas, kesabaran, toleransi, dan ketekunan.
Peradaban tumbuh bukan dari teori, tetapi dari kebiasaan baik. Al-Farabi menyebut guru sebagai “jiwa negara kecil,” penjaga harmoni yang memelihara masyarakat dari kesimpangsiuran moral.
Etos guru yang tenang dalam menghadapi ujian, tertib dalam mengelola kelas, sabar di tengah keterbatasan, dan tulus dalam memberi layanan adalah peradaban itu sendiri.
Murid melihat, menyerap, dan meneruskan keteladanan; bukan hanya ketika di kelas, tetapi hingga mereka dewasa.
Dalam konteks pendidikan keagamaan, guru memiliki peran strategis sebagai penjaga moderasi.
Di tengah polarisasi sosial dan meningkatnya provokasi digital, guru yang mengajarkan agama dengan cinta menjadi benteng penting kecerdasan spiritual.
Syed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred (1981) menekankan pentingnya melihat dunia sebagai amanah yang harus dijaga, bukan ruang permusuhan. Moderasi bukan kelemahan, melainkan kematangan.
Guru mengajarkannya bukan dengan dua puluh definisi, tetapi dengan cara yang lembut ketika berbeda pendapat, dengan sikap hati-hati dalam berkomentar, dan dengan keteguhan untuk selalu memilih jalan keseimbangan.
Keteladanan moderasi inilah yang ikut merawat semesta agar tetap damai dan hidup.
Memuliakan guru bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi strategi kebudayaan. Guru membutuhkan dukungan kebijakan yang kuat, pelatihan berkualitas, lingkungan kerja aman, dan kesejahteraan yang layak.
Banyak guru yang bekerja dalam keterbatasan, menempuh perjalanan panjang ke sekolah, mengajar dengan gaji minim, tetapi tetap menghadirkan cinta dalam pekerjaannya.
Mereka tidak hanya mengajar; mereka menjaga bangsa tetap beradab. Kebijakan negara harus melihat guru sebagai poros peradaban.
Investasi pendidikan bukan sekadar pembangunan fasilitas, tetapi penguatan manusia.
Sebuah bangsa tidak bisa lebih baik dari kualitas guru yang mendidiknya.
Keteladanan dalam pendidikan adalah bahasa cinta yang paling universal.
Al-Ghazali menulis bahwa murid “lebih banyak belajar dari melihat daripada mendengar.”
Guru yang menjaga tutur kata, waktu, dan emosi sedang mengajarkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari materi pelajaran. Keteladanan tidak membutuhkan mikrofon; ia bekerja dalam diam.
Murid akan membawa nilai itu ke keluarganya, ke dunia kerja, dan ke masyarakat. Pendidikan yang terbentuk dari keteladanan adalah pendidikan yang bertahan lintas zaman.
Pada akhirnya, merawat semesta berarti menata kembali cara kita memperlakukan guru.
Guru yang dihargai akan mengajar dengan hati terbuka; guru yang dicintai akan menebar cinta; guru yang dimuliakan akan memuliakan murid-muridnya.
Semesta pendidikan dapat tumbuh subur ketika cinta mengalir di dalamnya. Guru menanamkan kesadaran ekologis, menghidupkan etika digital, memperkuat empati sosial, dan memupuk kepedulian pada sesama.
Murid tidak hanya menjadi cerdas, tetapi bijaksana; tidak hanya menguasai ilmu, tetapi memahami tanggung jawab atas ilmu itu.
Refleksi Hari Guru Nasional 2025 menegaskan bahwa guru adalah penopang utama peradaban.
Ketika kita memuliakan guru, kita sesungguhnya sedang memuliakan masa depan bangsa.
Guru yang mengajar dengan cinta menghidupkan cita-cita bangsa yang merdeka, unggul, dan beradab.
Mereka memastikan Indonesia tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang kompetitif secara global, tetapi juga bangsa yang penuh kearifan dan belas kasih.
Dan pada akhirnya, memuliakan guru bukan sekadar slogan peringatan. Ia adalah laku peradaban—laku merawat semesta dengan cinta. (ord/adv)
| Kemenag Sulut dan Ditjen Pajak Perkuat Sinergi Kepatuhan Pajak ASN |
|
|---|
| Kemenag Sulut Gelar Rakor, Mantapkan Sinkronisasi Data untuk Layanan Pendidikan Berkualitas |
|
|---|
| Momen Sumpah Pemuda, Kakanwil Kemenag Sulut Ulyas Taha : Semangat Kita Semua |
|
|---|
| Wakil Gubernur Maluku Utara H. Sarbin Sehe Bersilaturahmi ke Kanwil Kemenag Sulut |
|
|---|
| Penjelasan Kemenag Sulut Terkait Pengelolaan Biaya Haji Lokal |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/Kolase-flyer-Ulyas-Taha.jpg)