Saksi Kata
Saksi Kata: Tanggapan Keluarga Pahlawan Nasional Wolter Mongisidi Terkait Pemindahan Makam ke Manado
Robert Wolter Mongisidi adalah putra Manado yang dikenang sebagai pahlawan nasional karena kiprahnya di masa revolusi.
Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Robert Wolter Mongisidi adalah putra Manado yang dikenang sebagai pahlawan nasional karena kiprahnya di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ia gugur ditembak Belanda di Makassar 5 September 1949.
Sejak hari itu, jasad Tuama Bantik ini bersemayam di tanah perjuangannya, Negeri Daeng.
Kini muncul wacana memindahkan jasad Pak Guru Bote ke Sulawesi Utara, tanah kelahirannya.
Tapi perdebatan pun lahir.
Apakah Mongisidi lebih layak dimakamkan di tempat ia lahir, atau di tanah tempat ia berjuang hingga titik darah penghabisan?
Sang adik Roby Mongisidi memberi apresiasi, tapi juga menegaskan: keputusan ini bukan sekadar urusan keluarga, melainkan kebijakan nasional, dan penghormatan rakyat Makassar yang menganggap Bote adalah simbol perjuangan mereka.
Dalam edisi Saksi Kata, Rabu 20 Agustus 2025, jurnalis senior Tribun Manado, David Kusuma, berbicara langsung dengan keluarga Mongisidi untuk mendapatkan jawaban.
Saksi Kata merupakan rekonstruksi peristiwa dengan narasumber utama.
Topik utama saksi kata kali ini adalah tentang wacana pemindahan makam Robert Wolter Mongisidi.
Robert Wolter Mongisidi adalah pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ia lahir di Manado pada tanggal 14 Februari 1925.
Pada 17 Juli 1946, Mongisidi bersama Ranggong Daeng Romo serta beberapa pejuang lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia-Sulawesi atau LAPRIS.
Laskar ini kemudian melakukan perlawanan dan menyerang posisi Belanda di Makassar.
Namun perlawanan dari Mongisidi terhadap penjajahan Belanda ini berakhir saat ia ditangkap dan gugur ditembak mati oleh Belanda di Makassar pada 5 September 1949.
Tinggal di kota Manado, tepatnya di Sario dekat SD di Jalan Pramukan ya Pak Roby?
Dekat SMA Negeri 1 Manado di Jalan Pramukan.
Pak Roby sudah mendengar bahwa akan ada pemindahan makam dari kakak Pak Roby ini yang rencananya dilakukan oleh Kodam 13 Merdeka?
Sudah kami sudah dengar itu dan saya pernah diundang oleh Kepala Pembinaan Mental (Kabintal) Kodam Merdeka, Kolonel Azis.
Lantas bagaimana pendapat keluarga tentang ini?
Saya selaku adik dari Wolter ingin menguraikan sebagai berikut.
Pada 10 November 1950, ayah saya bersama kakek, tante-tante, dan kakak-kakak saya diundang ke Makassar.
Rencana pemindahan makam Wolter dari pekuburan umum Kristen di Pampang, yang sekarang sudah menjadi kantor Gubernur Sulawesi Selatan.
Jadi, dari situ dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan sekarang di Jalan Merdeka, Makassar.
Setelah selesai acara pemindahan makam, ayah saya pernah ditanya oleh Kepala Dinas Pemakaman Tentara, Letnan I R.L. Toisuta.
Waktu itu ayah Pak Roby masih hidup?
Iya, tahun 1950. Kakek saya juga masih hidup. Ayah saya mengatakan kepada Pak Toisuta, “Makam Wolter bisa dipindah ke Manado?”
Saat itu ya, tahun 1950?
Tahun 1950. Kemudian Pak Toisuta mengatakan, “Karena sekarang masih sibuk, nanti kita adakan pertemuan.” Pertemuan itu diadakan pada 12 November 1950.
Di mana pertemuannya diadakan?
Di Kantor Cijirboana. Kantor itu sekarang sudah menjadi monumen Jenderal M. Jusuf di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar.
Sekitar 30 orang hadir, yang diundang oleh Pak Toisuta, terdiri dari berbagai unsur masyarakat.
Rapatnya itu dijelaskan oleh Pak Toisuta bahwa pertemuan ini membahas mengenai permintaan dari Pak Petrus Mongisidi, ayah Wolter, yang mengusulkan makam Wolter dipindahkan ke Manado.
Itu karena tahun 1950, ya?
Iya, saat pertemuan itu.
Para peserta, yang terdiri dari unsur pemuda, pimpinan politik, dan tokoh-tokoh masyarakat, berkesimpulan bahwa permintaan ayah Wolter tidak bisa dipenuhi.
Alasannya, meskipun Wolter lahir di Manado, perjuangannya untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dilakukan di selatan.
Air mata, darah, dan tenaga, dia curahkan di selatan selama revolusi, mulai dari tahun 1945 sampai 1949, saat gugur.
Jadi, mereka tidak mengabulkan permintaan dari ayah saya.
Itu pula salah satu buktinya. Waktu jenazah Wolter digali tanggal 8 September.
Karena ditembak tanggal 5 kan?
Iya, tanggal 5 September. Setelah ditembak, langsung dikuburkan di tempat penembakan.
Tanggal 8 September, masyarakat dan tokoh-tokoh pejuang politik meminta di mana Wolter dikuburkan.
Tanggal 8 September diberitahu, lalu mereka menggali hari itu, sekitar jam 12 siang.
Ada sekitar 40 orang yang diizinkan masuk, antara lain Dokter Tolio, Niko None (seorang kerabat kami), Anton Tatengguhan (wartawan dari IPOS), dan Pak Usman.
Waktu digali, jenazah Wolter masih utuh, padahal sudah 3 hari, ya kan? Dari tanggal 5 September sampai tanggal 8 September jam 12 siang.
Setelah digali, jenazah dibawa ke rumah keluarga Mantik None di Jalan Goa Nomor 47B. Di sana, jenazah dimandikan oleh Niko None.
Saya tanya Niko, saat dimandikan jenazah itu dibungkus apa? Niko bilang, “Itu saya bungkus dengan kertas mika, dulu belum ada plastik kan? Baru dengan koran, lalu ditanami di pinggir sumur.”
Saat dimandikan, Niko mencari-cari lubang peluru. Kalau dari belakang, tidak bisa dilihat, karena ada tembok.
Tapi kalau dari depan, itu kelihatan lubang-lubang peluru.
Tembakannya rapat sekali, satu di dada kiri, satu di pusar, satu dada kanan, satu di pelipis, dan satu lagi dari ketiak kiri tembus ketiak kanan.
Ada 8 peluru yang bersarang saat dieksekusi oleh Belanda.
Namun, dari 8 peluru, ada tiga yang tidak diledakkan.
Mereka tidak tahu kenapa. Mungkin agar tidak terlalu banyak luka.
Pak Roby, kalau dari pribadi dan keluarga, terkait wacana pemindahan makam ke Manado ini, bagaimana?
Setelah saya bertemu dengan Pak Kabintal Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Azis, saya menelepon keponakan saya, Mekel Iriki Mongisidi, yang ada di Jakarta.
Saya ceritakan. Dia bilang, “Tidak usah dipindahkan, biar tetap saja di Makassar.”
Ada penjelasan dari Pak Azis bahwa pemerintah Sulawesi Selatan menyiapkan lokasi di Bukit Kasih (Kanonang).
Oh, lokasinya yang akan dipindahkan?
Iya, akan dipindah ke sana. Lokasinya di Tompaso.
Tompaso?
Iya. Rencananya akan dipindahkan ke situ. Ada lokasi yang disiapkan. Kalau di sana, itu jauh sekali, sama saja dari Manado ke Makassar.
Jadi itu ya salah satu alasan pihak keluarga kurang setuju?
Iya.
Iya. Dia juga rencananya mau dipindahkan. Kita tahu ada dua pahlawan nasional di Manado, Imam Bonjol dan Kyai Mojo.
Imam Bonjol rencananya akan dimakamkan di Bonjol. Makam Kyai Mojo yang ada di Tondano juga rencanannya akan dipindahkan.
Kyai Mojo belum pahlawan nasional, dia baru diusulkan, tapi makamnya juga rencananya mau dipindahkan.
Perlu diketahui, pahlawan nasional asal Sulut itu ada 11 orang, selain Mongisidi. Dari 11 ini, hanya tiga yang makamnya ada di Sulut.
Maksudnya di luar Sulawesi Utara?
Iya, Pierre Tendean, John Lie, Lapian, ada semua.
Makamnya Mari Walanda Maramis yang ada di sini, di Maumbi, Santiago ada di Tahuna.
A.A. Maramis tidak di Sulawesi Utara, makamnya di Jawa.
Jadi, kalau mereka itu dipindah ke , dari 11 pahlawan yang asal Sulut, hanya tiga makamnya di Manado.
Jadi itu salah satu alasan juga dari keluarga?
Iya. Dan kalau dipindah ke luar kan, seperti pahlawan ini, makamnya di pusat, sebelah Pasar Sentral. Itu akan dipindah ke Jawa.
Dan mungkin ada dua pahlawan dari Makassar yang pahlawan nasional yang ada di makam Makassar, juga mungkin dari yang lain. Akan dipindah-pindah.
Pak Roby, Pak Wolter Mongisidi ini berapa bersaudara?
Kami 11 bersaudara. Tapi tiga meninggal saat balita. Paling sulung, nomor lima, dan yang paling bungsu. Jadi sisa delapan.
Dari 11, Wolter anak keempat?
Iya, anak keempat. Tapi kalau dari delapan, Wolter anak ketiga.
Dari 11 ini, sisa dua. Sampai saat ini. Saya dan kakak saya, Mary Margherita Mongisidi.
Pak Roby anak keberapa?
Saya yang kesepuluh. Anak kedua dari terakhir. Kakaknya yang bungsu meninggal, jadi saya yang bungsu.
Pak Roby, kalau Pak Wolter Mongisidi seorang pejuang, tentara, kalau Pak Roby aktivitasnya apa dari muda?
Kalau saya dulu hanya sekolah, baru bantu orang tua.
Kemudian tahun 1955, saya ke Makassar, ikut kakak saya yang sulung, Yos Mongisidi, karena dia polisi.
Tidak lama dia pindah-pindah, jadi saya tinggal.
Dia bilang tinggal di Makassar, cari kerja.
Lalu dia kasih uang Rp 200, setelah bayar kontrakan kos untuk dua bulan.
Rp 200 saat itu?
Iya, Rp 200 perak saat itu, tahun 1955.
Pas saya di kontrakan, ada tiga orang Manado.
Saya jalan-jalan di kota, kebetulan ada om saya, kakak dari pihak ayah, dia kepala di Pekerjaan Umum Makassar.
Saya pergi sama dia, lalu tanya kalau ada lowongan kerja.
Dia bilang belum ada, nanti kalau ada diberitahu.
Saya jalan-jalan lagi di kota. Saya lihat ada banyak tentara duduk di kuburan.
Saya lihat di batu nisan bertuliskan “DN 720 – Wolter Mongisidi.” Saya langsung teringat.
Saya perkenalkan diri, “Pak, saya adiknya Wolter.” Dia kaget. Dia seorang berpangkat Kopral.
Saya cerita-cerita, baru saya bilang, “Pak, ada lowongan tentara?” Dia bilang, “Ada. Di mana tempatnya?” Dia bilang di sana, sekitar 100 meter dari sini.
Langsung Pak Robi melamar jadi tentara juga?
Saya ke situ, tapi komandan tidak ada. Jadi disuruh datang besok.
Besoknya saya datang jam 9 pagi. Jalan dulu namanya Jalan O.K. Pak, sekarang Jalan Ahmad Yani.
Saya ketuk pintu. Dia suruh masuk. Dia bilang, “Pagi.”
Walaupun dikerahkan, saya bilang, “Saya Roby Mongisidi dari Manado.” Dia kaget. Dia juga orang Manado yang menerima.
Dia bertanya, “Mama dan Papa bagaimana?”
Ada lowongan, dia panggil saya ke belakang, langsung isi formulir, tanda tangan.
Dia bilang, “Minggu depan siap-siap.” Langsung diterima.
Kebetulan batalion itu ada satu kompi yang memisahkan diri, jadi formasinya kosong.
Pak Roby, apa kenangan Pak Roby terkait kakak Pak Roby, Pahlawan Nasional Walter Mongisidi, semasa hidup?
Dia berangkat dari Manado tahun ‘43. Tiba di Makassar awal ‘43. Jadi saya baru kelas 1 SD.
Pak Roby masih kelas 1 SD, dia sudah berangkat?
Iya. Sekolah kita di Bahu, Kecamatan Malalayang.
Dulu ada bangunan di situ.
Waktu Jepang masuk, kita stop sekolah karena ada bom sekutu.
Nanti sekolah lagi kalau sudah aman.
Pak Roby sekarang punya berapa anak?
Dua, perempuan. Dua-duanya sudah berkeluarga.
Tapi cucu hanya satu. Karena satu tidak punya anak, suaminya sudah meninggal.
Saat itu Pak Roby masih kelas 1 SD, kakak Pak Roby sudah berangkat berjuang ke Makassar?
Awalnya dia pergi untuk sekolah. Ayah saya tanya, “Kenapa sekolah ini?” Dia bilang, “Kalau waktu perang, pabrik-pabrik itu memproduksi alat perang.
Tapi kalau waktu aman, memproduksi barang-barang.” Jadi, dia ingin menjadi teknisi, insinyur.
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado, Threads Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca juga: Polda Sulut Tetapkan 7 Tersangka Kasus KM Barcelona, Akademisi Soroti Peran KSOP: Izin dari Mereka
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.