Korupsi
Daftar 5 Narapidana Korupsi yang Bebas Penjara Setelah Dapat Remisi, Tak Jalani Penuh Masa Hukuman
Baru-baru ini, terpidana kasus korupsi KTP Elektronik atau E-KTP, Setya Novanto, juga menghirup udara bebas.
Ia diduga menerima suap terkait sejumlah proyek di Provinsi Jambi.
Penetapan Zumi sebagai tersangka merupakan pengembangan perkara kasus suap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi.
Kendati sudah menjadi tersangka sejak awal Februari 2018, Zumi baru ditahan KPK pada 9 April 2018.
Proses hukum kemudian berjalan. Pada 8 November 2018, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Zumi 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga menuntut pencabutan hak politik Zumi selama 5 tahun setelah menjalani pidana pokoknya.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Zumi tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan mencederai kepercayaan masyarakat.
Vonis hakim lebih ringan dibanding tuntutan jaksa.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 6 Desember 2018, Zumi divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim menyatakan Zumi terbukti menerima gratifikasi lebih dari Rp40 miliar, 177.000 dolar Amerika Serikat, dan 100.000 dolar Singapura. Selain itu, ia juga menerima 1 unit Toyota Alphard dari kontraktor.
Selain itu, Zumi juga terbukti menyuap 53 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi dengan total Rp16,34 miliar.
Suap itu bertujuan agar pimpinan dan anggota DPRD menyetujui Rancangan Peraturan Daerah APBD Tahun Anggaran 2017 dan 2018 menjadi Peraturan Daerah.
Ajukan PK dan Bebas Bersyarat
Zumi Zola tidak mengajukan banding atas putusan pengadilan. Namun, tiga tahun setelah menjalani masa hukumannya, yakni pada Januari 2021, ia mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Upaya tersebut kandas pada Mei 2022.
Tak lama setelah putusan PK, Zumi Zola mendapatkan bebas bersyarat.
Ia keluar dari Lapas Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 6 September 2022.
Saat itu, Zumi bebas bersamaan dengan sejumlah narapidana korupsi lainnya, seperti mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.
4. Patrialis Akbar
Pada September 2017, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan terkait kasus suap uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Diwartakan Tribunnews.com, Patrialis Akbar terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman, dan stafnya, Ng Fenny.
Patrialis serta orang dekatnya, Kamaludin, menerima 50.000 dolar AS dan Rp 4 juta.
Selain itu, keduanya juga dijanjikan uang sebesar Rp2 miliar dari Basuki.
Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.
Pada September 2018, Patrialis Akbar mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Kemudian, pada Agustus 2019, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Patrialis Akbar.
Dengan putusan ini, hukuman Patrialis dipangkas menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan, dilansir Tribunnews.com.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, menjelaskan bahwa menurut majelis hakim PK, putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Patrialis 8 tahun penjara tidak didukung pertimbangan hukum yang konkret dan cukup sebagai dasar penentuan lamanya pidana.
Patrialis kemudian mendapatkan pembebasan bersyarat pada September 2022, bersama dengan 22 narapidana kasus korupsi lainnya.
5. Setya Novanto
Kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto berawal dari pengakuan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mengutip Tribunnews.com.
Nazaruddin saat itu mengungkap adanya aliran uang korupsi proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang diduga menerima uang sebesar 2,6 juta dollar AS.
Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus ini menguat setelah namanya disebut dalam persidangan.
Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Dari total anggaran tersebut, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek.
Sementara sisanya, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Berdasarkan fakta persidangan tersebut, KPK pun menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada 29 September 2017, hakim mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dan menyatakan penetapan tersangka terhadapnya tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Namun, KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Novanto pun kembali mengajukan praperadilan pada 10 November 2017.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI tidak pernah memenuhi panggilan KPK dengan berbagai alasan, mulai dari sakit hingga meminta KPK menunggu putusan praperadilan.
Hingga akhirnya, KPK mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 November 2017.
Namun, upaya paksa KPK tersebut tidak berhasil membawa Setya Novanto.
Kasus Setya Novanto kemudian diwarnai "drama" kecelakaan.
Pada 17 November 2017, mobil yang ditumpangi Setya Novanto dikabarkan menabrak tiang lampu.
Ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Drama berlanjut ketika pengacaranya menyebut kepala Setya Novanto mengalami benjolan sebesar bakpao.
Akibat drama tersebut, pengacara Fredrich Yunadi dijatuhi hukuman terkait kasus perintangan penyidikan.
Setelah itu, KPK menjemput Setya Novanto dari rumah sakit, lalu membawanya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan akibat luka-luka dalam kecelakaan.
Selanjutnya, Setya Novanto resmi ditahan KPK pada 19 November 2017.
Saat menjalani sidang perdana pada 13 Desember 2017, Setya Novanto kembali menimbulkan drama.
Ia menolak berbicara sama sekali dan memperlihatkan raut wajah seperti orang sakit.
Padahal, hasil pemeriksaan dokter menyatakan Setya Novanto sehat dan dapat menjalani persidangan.
Upaya tersebut diduga dilakukan untuk mengulur waktu karena pada saat bersamaan PN Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang diajukannya.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011–2013.
Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selain itu, Setya Novanto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Majelis hakim juga mencabut hak politiknya selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Selanjutnya, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum.
Melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Rabu (28/8/2019).
Perkara tersebut diregistrasi Mahkamah Agung pada 6 Januari 2020, lalu didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020.
Permohonan PK itu diputus dalam waktu lama, yakni sekitar 1.956 hari.
Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan PK Setya Novanto.
Dengan putusan PK tersebut, hukuman Setya Novanto dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.
Kini, Setya Novanto bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025).
Politikus Golkar tersebut bebas bersyarat setelah hukumannya dipotong Mahkamah Agung, berdasarkan putusan PK yang dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
Tentang Remisi
Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang berkonflik dengan hukum (anak) yang memenuhi syarat tertentu, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Remisi diberikan sebagai bentuk apresiasi atas perilaku baik dan partisipasi dalam program pembinaan di lapas, serta bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari hukuman dan mempercepat reintegrasi sosial.
Secara lebih rinci, remisi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pengurangan Masa Pidana
Remisi bukan pembebasan penuh, melainkan pengurangan sebagian dari masa hukuman yang harus dijalani narapidana.
Kriteria Penerima
Remisi diberikan kepada narapidana dan anak yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menjalani masa pidana tertentu.
Jenis Remisi
Terdapat dua jenis remisi utama:
Remisi Umum, diberikan pada hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus.
Remisi Khusus, diberikan pada hari besar keagamaan narapidana yang bersangkutan.
Tujuan Pemberian Remisi
Mendorong Perilaku Baik: Memberikan motivasi kepada narapidana untuk berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan dengan baik.
Mempercepat Reintegrasi Sosial: Membantu narapidana untuk lebih siap kembali ke masyarakat setelah bebas.
Mengurangi Dampak Negatif Hukuman: Mengurangi dampak negatif dari isolasi dan kehilangan kebebasan.
Mencerminkan Kemanusiaan: Menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana juga memperhatikan aspek kemanusiaan dan hak-hak narapidana.
Dengan demikian, remisi bukan hanya sekadar pengurangan hukuman, tetapi juga merupakan bagian dari upaya pembinaan dan reintegrasi sosial narapidana.
Telah tayang di Tribunnews.com
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Diperiksa KPK, Ini 5 Fakta Dugaan Pemerasan TKA di Kemnaker Era Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah |
![]() |
---|
Daftar 10 Negara Terkorup di Dunia, Ada Negara Besar, Indonesia Tidak Termasuk |
![]() |
---|
Oknum Kades Ini Korupsi Dana BLT Lantaran Kecanduan Judi Online, Segini Kerugian Negara |
![]() |
---|
Indonesia Audit Watch Bocorkan Inisial 2 Artis yang Diduga Kecipratan Hasil Korupsi Harvey Moeis |
![]() |
---|
Fakta 84 Persen dari 1.250 Koruptor di Indonesia Orang Berpendidikan Tinggi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.