Kasus Judi Online
Pemain Judol Akali Sistem Bandar Ditangkap, Anggota DPR: Bandarnya Pelaku Utama Justru Tak Tersentuh
lima orang yang diketahui pemain judol jadi tersangka setelah mengakali sistem hingga rugikan bandar judi online.
Penulis: Glendi Manengal | Editor: Glendi Manengal
TRIBUNMANADO.CO.ID - Judi online memang memang marak terjadi di Indonesia.
Hingga saat ini pemerintah masih terus memberantas judi online.
Terkait hal tersebut salah satu kasus judi online terungkap di wilayah Yogyakarta.
Dimana sebanyak lima orang yang diketahui pemain judol jadi tersangka setelah mengakali sistem hingga rugikan bandar judi online.
Hal ini menjadi sorotan publik, hingga salah satu anggota DPR RI turut menanggapi soal kasus tersebut.
Ya, anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyoroti penangkapan lima pelaku yang diduga mengakali sistem dan merugikan bandar judi online (judol) oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY).
Dia menilai, penanganan kasus ini tidak hanya janggal, tetapi juga membuat publik bertanya-tanya soal arah penegakan hukum terhadap kejahatan digital yang masif dan terorganisir itu.
Menurut Sudding, semestinya kasus ini menjadi pintu masuk untuk memburu dalang alias bandar di balik maraknya judi online.
"Ada keganjilan yang tidak bisa diabaikan. Seharusnya yang disikat polisi, ya bandarnya, dan kasus ini pintu masuknya. Kalau yang melapor bandarnya, kenapa polisi nggak nangkap. Dan kalaupun bukan, kenapa polisi tak tangkap bandarnya?” kata Sarifuddin Sudding kepada wartawan, Sabtu (9/8/2025).
Politisi PAN itu pun merasa ironi karena cepatnya polisi menangani kasus yang merugikan bandar judol.
"Namun keberadaan bandar yang jelas-jelas merupakan pelaku utama justru tak tersentuh. Ini seperti membiarkan akar kejahatan tetap tumbuh, dan hanya memangkas rantingnya. Kan ironis,” tuturnya.
Sudding menilai, penangkapan terhadap lima pelaku yang memanfaatkan celah teknis dalam sistem promosi situs judi online justru membuka fakta bahwa sistem judol itu sendiri beroperasi secara ilegal, merusak masyarakat, dan telah lama dibiarkan tumbuh subur di ruang digital Indonesia.
Sudding mengingatkan bahwa aparat penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, apalagi dalam menangani kasus dengan dampak sosial dan ekonomi yang luas seperti judi online.
Terlebih, judi digital telah menjadi epidemi sosial yang menyasar masyarakat bawah, merusak kehidupan keluarga, dan menjerat generasi muda dalam jeratan utang dan kecanduan.
"Jangan sampai aparat justru terlihat lebih sigap saat pelaku yang ditangkap 'merugikan bandar', tapi lambat saat yang dihadapi adalah para bandar yang merugikan masyarakat,” pesan Sudding.
“Kalau benar aparat bertindak atas laporan masyarakat, seharusnya yang diburu adalah bandar yang menciptakan ekosistem judi itu sendiri," tambahnya.
Sudding pun mendesak Polda DIY untuk bersikap profesional, transparan, dan akuntabel, serta membuka ke publik siapa aktor-aktor besar di balik operasi situs judi online tersebut.
"Sudah saatnya aparat penegak hukum berhenti mengejar pelaku-pelaku kecil dan mulai membongkar struktur bisnis ilegal yang melibatkan bandar besar, jaringan pembayaran, serta potensi pembiaran oleh oknum aparat," kata Sudding.
Dia mendorong dilakukannya audit menyeluruh terhadap situs-situs judi online yang aktif di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk penelusuran aliran dana, penggunaan dompet digital, serta potensi kerja sama sistematis yang memungkinkan bisnis ilegal ini tetap berjalan.
"Kalau serius memberantas judi online, tidak cukup hanya menangkap pelaku teknis di permukaan. Perlu keberanian politik dan integritas hukum untuk menyentuh para pengendali utama judi online ini," sebutnya.
Sudding menegaskan, Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum dan bermitra dengan Polri itu berkomitmen untuk melakukan supervisi ketat terhadap aparat penegak hukum, termasuk dalam penanganan kasus-kasus judol.
"Dan memastikan bahwa penegakan hukum dijalankan untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan menjadi instrumen perlindungan bagi kejahatan digital terorganisir," pungkas Sudding.
Seperti diberitakan, Polda DIY berhasil mengamankan lima orang pelaku atau operator yang diduga mengakali sistem promo situs judol.
Kelima pelaku disebut merugikan bandar judol karena memiliki banyak akun yang dapat membobol dan menarik uang atau cashback dan promo di situs judol.
Kelima pelaku diamankan melalui aksi penggerebekan di sebuah rumah, daerah Banguntapan, Bantul, Kamis (10/7).
Lima pelaku yang telah diditetapkan sebagai tersangka adalah RDS (32), EN (31), dan DA (22) warga Bantul serta NF (25) warga Kebumen dan PA (24) warga Magelang.
Nama pertama bertindak sebagai koordinator, sementara empat lainnya sebagai operator.
Para tersangka bermain judi online secara terorganisir dengan memanfaatkan celah pada promo situs judi. Setiap orang memainkan 10 akun dalam satu perangkat komputer per hari.
Aksi mengakali sistem judi online itu berlangsung selama satu tahun di Yogyakarta. Setiap bulan setidaknya ada keuntungan sebesar Rp50 juta yang masuk ke rekening RDS. Sementara empat karyawannya dibayar Rp1,5 juta per minggu.
Menurut pihak kepolisian, mereka menyelidiki kasus ini berdasarkan keterangan masyarakat. Namun publik bertanya-tanya, siapakah masyarakat yang dimaksud itu dan menduga pelapor adalah bandar judol yang dirugikan atas aksi 5 warga Yogya tersebut.
Polda DIY Luruskan Fakta Penangkapan Lima Pelaku Judi Online di Banguntapan
Penangkapan lima tersangka pemain judi online (judol) slot oleh Polda DIY mengundang tanya besar dari masyarakat di media sosial (medsos).
Tak sedikit dari netizen bertanya-tanya mengapa lima pemain slot yang mengakali bandar dengan 40 akun setiap hari yang justru ditangkap.
Warganet juga menanyakan apakah pelapor dalam kasus pengungkapan judol di Banguntapan itu merupakan bandar slot yang merasa dirugikan atas ulah lima pemain tersebut.
Merespon hal itu, Polda DIY meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat terkait penangkapan lima orang pelaku aktivitas judi online yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), yang sebelumnya telah dirilis pada Kamis (31/7/2025) lalu.
Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto, menegaskan bahwa proses penindakan bermula dari laporan masyarakat, yang ditindaklanjuti oleh Ditreskrimsus Polda DIY.
“Informasi awal berasal dari warga yang melihat dan mendengar bahwa ada aktivitas mencurigakan dari para pelaku. Informasi tersebut dikembangkan oleh kami yang bekerjasama dengan intelijen, kemudian kami tindaklanjuti secara profesional,” ujar AKBP Slamet, Rabu malam (6/8/2025).
Dari hasil pemeriksaan, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah dilakukan penahanan, terdiri dari empat operator dan satu koordinator berinisial RDS.
Mereka menjalankan praktik judi online dengan cara mengumpulkan dan memanfaatkan situs-situs yang menawarkan promosi untuk pengguna baru.
“Para pelaku merupakan pemain judi online dengan modus memainkan akun-akun dan memanfaatkan promo untuk menambah deposit,” tegasnya.
Saat ini kasus tersebut telah masuk ke tahap penyidikan sebagai bentuk komitmen Polda DIY melakukan penegakan hukum terhadap segala bentuk perjudian dan tindak pidana online.
Apabila di kemudian hari ditemukan bukti keterlibatan bandar atau jaringan yang lebih besar, akan diproses hukum secara tegas dan transparan.
“Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak. Mulai dari pemain, operator, pemodal, hingga bandar dan pihak-pihak yang mempromosikan. Tidak ada toleransi untuk perjudian dalam bentuk apa pun,” lanjut AKBP Slamet.
Sementara itu, Kabid humas Polda DIY, Kombes Pol Ihsan, mengucapkan terimakasih kepada masyarakat yang telah memberikan informasi adanya praktik perjudian di wilayah DIY.
"Keberhasilan pengungkapan kasus ini juga bagian dari peran dan partisipasi masyarakat dalam melaporkan aktifitas judi online tersebut, tegas Kombes Ihsan.
Dirinya juga mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam semua aktifitas judi online karena merupakan kejahatan dan mengajak masyarakat untuk melaporkan apabila mengetahui adanya aktivitas perjudian di wilayahnya.
51 Triliun Lenyap ke Judi Online
Dana konsumsi masyarakat senilai Rp 51 triliun tersedot ke judi online sepanjang 2024. Aliran dana itu bukan hanya memukul ekonomi rumah tangga, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian nasional dengan menyumbang penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,3 persen.
Data tersebut diungkap oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dalam diskusi Katadata Policy Dialoq bertajuk Strategi Nasional Memerangi Kejahatan Finansial di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
“Ini baru puncak gunung es. Dampak sosialnya lebih mengerikan,” kata Firman Hidayat, anggota DEN, dalam paparannya.
Ia menegaskan bahwa fenomena judi online (judol) telah mengalihkan alokasi belanja produktif masyarakat ke aktivitas konsumtif yang tidak berdampak positif bagi pembangunan. Firman mengutip studi internal DEN dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat adanya penurunan 30 persen belanja pendidikan di kalangan keluarga pecandu judi online.
“Perilaku konsumsi seperti ini bisa melumpuhkan generasi mendatang jika tidak ditangani serius,” ujarnya.
Firman juga membandingkan pola ini dengan hasil studi di Brazil yang menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran judi berjalan seiring dengan penurunan belanja pendidikan dan kesehatan. Profil korbannya pun mirip: pria paruh baya dari kalangan menengah bawah.
Data BPS memperkuat potret tersebut. Sebanyak 71 persen pemain judi online di Indonesia merupakan laki-laki berpenghasilan sekitar Rp 5,1 juta per bulan. Mereka mayoritas berusia 30–50 tahun dan tinggal di lingkungan padat atau kumuh.
Kondisi ini diperparah dengan data internasional yang menunjukkan bahwa 60 persen pecandu judol mengalami kecenderungan bunuh diri, serta 16 kali lebih berisiko menumpuk utang.
Bahkan, risiko kekerasan dalam rumah tangga meningkat hingga 300 persen, berdasarkan studi longitudinal dari Amerika Serikat.
Efek Domino pada Kualitas SDM
Ancaman judi online terhadap pembangunan tidak berhenti di ranah ekonomi. Judi daring juga menyerang kualitas sumber daya manusia (SDM), elemen vital menuju Indonesia Emas 2045.
Direktur Eksekutif Katadata Insight Center (KIC), Fakhridho Susrahardiansyah, memaparkan bahwa sebagian besar pecandu judol mengalami ketergantungan ganda.
“Sebanyak 70 persen pecandu judol mengonsumsi narkoba agar bisa bermain lebih lama,” jelas Fakhridho.
Gejala depresi berat dialami oleh 60 persen pasien pecandu judol, dan 15 persen di antaranya pernah mencoba bunuh diri, berdasarkan data yang disampaikan dalam forum yang sama.
Pendekatan Agama dan Pendidikan
Atas situasi tersebut, Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menilai bahwa pendekatan keagamaan dan edukasi publik menjadi kunci pencegahan.
“Saya mungkin tidak takut penjara, tapi takut sama Tuhan,” ujar Fransiska Oei dari Perbanas dalam forum yang sama.
Ia mengusulkan pendekatan seperti yang diterapkan di Malaysia, yang mengedepankan edukasi berbasis nilai agama. Selain itu, ia mendorong agar bahaya judol masuk dalam kurikulum sekolah, serta diterbitkannya regulasi tegas terhadap iklan judol yang kerap menyamar sebagai game online di berbagai platform digital.
Kehilangan potensi pajak sebesar Rp 6,4 triliun akibat aktivitas ilegal ini hanya satu sisi dari persoalan. Ancaman terbesarnya justru terletak pada menurunnya kualitas manusia Indonesia yang seharusnya menjadi fondasi pertumbuhan jangka panjang.
(Sumber Tribunnews/Kompas)
5 Pelaku Ditangkap Usai Akali Sistem hingga Rugikan Bandar Judol, Polda DIY Bantah Lindungi Bandar |
![]() |
---|
Markas Judi Online di Jakarta Barat Digerebek Polisi, Hasilkan 21 Miliar per Hari, 8 Orang Ditangkap |
![]() |
---|
Seorang Buruh di Bitung Sulut Terlibat Judi Online Togel, Ditangkap Beserta Babuk oleh Polisi |
![]() |
---|
Segini Keuntungan Kakak Beradik yang Libatkan 70 Selebgram Promosi Judi Online |
![]() |
---|
Kronologi 2 Tersangka Judi Online Diringkus Polres Minahasa Selatan Sulut, Omsetnya Jutaan Rupiah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.