Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Hilirisasi dan Kuasa Simbolik Bahasa

Bahasa digunakan untuk mengarahkan persepsi, membingkai realitas, dan bahkan membatasi cara berpikir masyarakat.

Kolase/HO
OPINI - Tulisan opini oleh Dosen IAIN Manado/Pragmalinguis, Ardianto Tola. 

Namun kekuatan kata ini tidak terletak pada struktur linguistiknya, melainkan pada relasi kuasa dan proses ideologisasi yang mendukung penggunaannya secara luas.

Ketika presiden, wakil presiden, menteri, tokoh industri, dan media massa secara konsisten mengulang-ulang istilah ini dalam wacana publik, masyarakat pun mulai menyerap dan mempercayai makna dan urgensinya. 

Lambat laun, hilirisasi diadopsi secara luas sebagai bagian dari kosakata resmi pembangunan. Akhirnya, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Badan Bahasa) pun memasukkannya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

Proses ini merupakan contoh dari apa yang disebut discursive institutionalization, yakni pembentukan realitas sosial melalui bahasa, sebagaimana diungkap Norman Fairclough (2010).

Lebih jauh, Pierre Bourdieu (1991) menyebut bahwa otoritas bahasa muncul dari kapital simbolik yang dimiliki oleh institusi atau aktor dominan. 

Ketika elite negara dan media mainstream memperkuat satu istilah secara berulang, mereka bukan hanya menyebarkan kata, tetapi juga membingkai realitas sosial yang diharapkan diyakini publik. 

Ini menjadikan hilirisasi bukan sekadar istilah ekonomi, tetapi juga perangkat ideologis yang memiliki performativitas kebahasaan: ia tidak hanya mendeskripsikan dunia, tetapi menciptakan dan mengarahkan dunia itu sendiri.

Kodifikasi Bahasa sebagai Proses Ideologis

Kodifikasi adalah proses pembakuan unsur-unsur bahasa, biasanya dilakukan oleh lembaga resmi seperti Badan Bahasa di Indonesia. 

Dalam pendekatan klasik, kodifikasi dianggap sebagai proses teknis-linguistik yang bertujuan untuk menciptakan keseragaman, efisiensi, dan keteraturan komunikasi. 

Namun, dalam kajian sosiolinguistik kritis, kodifikasi tidak bisa dilepaskan dari ideologi, kuasa simbolik, dan kepentingan hegemonik.

Dalam konteks bahasa Indonesia, kodifikasi modern tidak hanya bersumber dari pertimbangan linguistik murni, tetapi juga dari praktik sosial dan kekuasaan diskursif. 

Istilah “hilirisasi”, misalnya, menjadi fenomena kodifikasi yang mencerminkan logika ideologis pembangunan negara. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk proses transformasi ekonomi dari bahan mentah ke produk bernilai tambah tetapi juga menjadi penanda identitas politik pembangunan, sebagaimana dibingkai dalam agenda negara.

Konsep ini sejalan dengan pandangan Norman Fairclough (2010), bahwa bahasa dalam kebijakan publik adalah sarana hegemonisasi wacana, bukan semata alat komunikasi. 

Melalui proses yang disebutnya “discursive legitimation”, istilah seperti “hilirisasi” memperoleh status baku bukan karena kelaziman linguistiknya semata, tetapi karena sering dipakai dalam forum resmi dan media massa sehingga tampak "alami" dan tidak dapat diganggu gugat. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved