Kasus Rudapaksa Oknum Pengacara
Korban Rudapaksa 2 Oknum Pengacara dalam Perlindungan LPSK, Ada Dugaan Kriminalisasi
LI, korban rudapaksa dua oknum pengacara yang kini sudah jadi tersangka dan ditahan Kejari Manado, berada dalam naungan resmi LPSK
Penulis: David_Kusuma | Editor: David_Kusuma
TRIBUNMANADO.CO.ID - LI, korban rudapaksa dua oknum pengacara yang kini sudah jadi tersangka dan ditahan Kejari Manado, berada dalam naungan resmi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dua tersangka telah ditahan Kejari Manado yakni AT, Selasa (27/5/2025) malam, dan JT pada Kamis (15/5/2025) lalu.
LI sebelumnya melaporkan dugaan kasus kekerasan seksual yang menimpanya, AT dan JT, sebagai terlapor berprofesi sebagai advokat.
Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dan bahkan telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P-21), dan siap dilimpahkan ke pengadilan.
Namun, terlapor melaporkan LI ke Polsek Wenang, menuduhnya melakukan penganiayaan dan ancaman. Laporan ini terjadi usai LI berhasil menyelamatkan diri dari lokasi kejadian dan masih sempat dikejar oleh pelaku hingga ke kawasan Megamas Manado.
Dalam kondisi tertekan, takut dan terancam, LI melakukan perlawanan sebagai bentuk pembelaan diri.
Menurut salah satu kuasa hukum LI, Prisillia A E Pandeirot SH MH, tindakan itu merupakan reaksi spontan untuk menyelamatkan diri dari ancaman berulang. Namun aparat diduga justru mengabaikan konteks trauma dan ketakutan tersebut.
“Pembelaan diri adalah hak dasar manusia yang dilindungi hukum, terutama dalam situasi terpaksa (noodweer),” ujar Prisillia yang juga sebagai aktivis SSK LPSK Sulawesi Utara
LI, kini juga ditetapkan tersangka dan DPO Polsek Wenang. Kuasa Hukum LI mengatakan, langkah Polsek Wenang menjadi sorotan karena melangkahi prosedur hukum yang mengatur perlindungan terhadap korban.
Kata dia, Menurut Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK sebelum mengambil tindakan hukum terhadap saksi/korban yang sedang dilindungi.
“Namun tidak ada tanda-tanda koordinasi resmi antara Polsek Wenang dan LPSK padahal penyidik Polsek Wenang sudah pernah dinformasikan terkait LI menjadi pihak terlindung, tetapi tetap dipaksakan sebagai DPO. Hal ini menandai pelanggaran serius terhadap prosedur hukum dan norma etik dalam penanganan perkara yang menyangkut korban kekerasan seksual,” ujarnya.
“Ini bukan sekadar cacat prosedur, tapi penghinaan terhadap integritas sistem perlindungan korban yang diatur negara,” sambung Decky Paseki SH MH Dosen FH yang juga Koordinator Pusat Bantuan Hukum & HAM Unsrat.
Dijelaskannya, secara prinsip, tindakan LI yang dituduh sebagai penganiayaan seharusnya ditempatkan dalam kerangka hukum pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bila terbukti dilakukan dalam kondisi terpaksa untuk mempertahankan diri dari serangan yang nyata dan mengancam keselamatan, tindakan tersebut bukan tindak pidana.
Lebih jauh lagi, dalam konteks korban kekerasan seksual, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengamanatkan agar proses hukum dilakukan dengan perspektif korban (victim-centered approach).
“Ketika korban justru dijadikan tersangka, ini menunjukkan bahwa hukum kehilangan arah etik dan substansinya. Kita sedang menyaksikan pembalikan moral dalam sistem peradilan pidana,” tegas Pricillia A E Pandeirot yang juga Dosen Hukum dari Universitas Sam Ratulangi Manado. (vid)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.