In Depth News
Semu Larangan Penjualan Daging Anjing dan Kucing di Tomohon
Pasar Beriman Kota Tomohon di Sulawesi Utara yang lebih dikenal sebagai Pasar Ekstrem tak lagi se-ekstrem dulu. Akhir Maret 2025.
Penulis: Isvara Savitri | Editor: Rizali Posumah
Meski ada perubahan metode penjualan, pola penjagalan tak mengalami perubahan. Anjing tetap dipukul hingga mati, atau diracun menggunakan potassium, khusus bagi anjing yang dicuri di perkampungan. Meski diracun, Ato menjamin daging tersebut tetap aman dikonsumsi. “Karena jeroannya dibuang, hanya dagingnya yang dijual,” jelasnya.
Sedang kucing, Ato biasanya menggunakan tanaman Catnip (Nepeta cataria) yang dioleskan ke seluruh karung untuk menjebak. Dengan sendirinya, kucing-kucing yang mengendus aroma Catnip akan mendekati karung tersebut. Setelahnya, kucing akan dikarungkan dan dipukul hingga mati. “Kalau dulu pernah dengan menembak, tapi dimarahin orang. Karena kalau tidak tepat sasaran, hanya kena kaki misalnya, dia masih bisa lari dan mati di tempat lain,” terang Ato.
Di sisi lain, masih ada warga Kota Tomohon yang tidak tahu adanya perubahan pola penjualan. Mery Saronsong (29) misalnya, mengaku tak tahu jika ada penjualan daging anjing dan kucing secara daring. “Setahu saya di Pasar Beriman pun sudah tidak boleh berjualan sejak 2 tahun lalu,” ucapnya. Ia sendiri juga sudah tidak pernah mengonsumsi daging anjing, apalagi kucing. Hal itu lantaran saat ini Mery sudah tinggal di Kota Manado dan jarang pulang kampung.
Mengapa Konsumsi Daging Anjing dan Kucing di Tomohon Masih Berulang?
Berdasarkan penelitian Nielsen tahun 2023, Kota Tomohon masih menempati posisi kedua setelah Kabupaten Minahasa terkait konsumsi daging anjing dan kucing. Sebanyak 44 persen responden pada tahun tersebut masih mengonsumsi daging anjing dengan tingkat pengulangan sebesar 65 persen. Di sisi lain, 19 persen responden masih mengonsumsi daging kucing dengan tingkat pengulangan sebesar 65 % . Hal tersebut disebabkan rendahnya partisipasi dan pengetahuan terkait perkembangan isu perdagangan daging anjing dan kucing.

Selain itu, sebanyak 84 konsumen daging anjing dan 82 konsumen daging kucing mengaku alasan mereka mempertahankan kebiasaan tersebut karena rasa daging yang lezat. Hanya 43 konsumen daging anjing dan 42 konsumen daging kucing yang mempertahankan hal itu dengan alasan kebiasaan. Masih berdasarkan hasil penelitian Nielsen, sebanyak 63 % konsumen mempertahankan pilihannya karena memang suka dengan rasa daging anjing dan kucing, 53?ralasan hal tersebut menjadi pilihan personal, dan hanya 36 % yang menyatakan bahwa daging anjing dan kucing merupakan bagian dari budaya atau makanan tradisional.
Untuk itu, menurut Kepala Pusat Kajian Agama dan Budaya Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan kepada Masyarakat Institut Agama Kristen Negeri (LP2M IAKN) Manado, Dr HR Denni Pinontoan, mengatakan bahwa alasan budaya tak sepenuhnya relevan untuk melegitimasi kebiasaan mengonsumsi daging anjing dan kucing di masyarakat Suku Minahasa. Ia tak menampik bahwa ada tradisi di balik kebiasaan tersebut, namun praktiknya kini sudah jauh melenceng. Hingga tahun 1940an, konsumsi daging anjing hanya dikhususkan ketika ritual pembukaan lahan baru atau menghuni gedung baru, yang dikenal dengan tradisi Rumamba atau warga menyebut nae rumah baru. “Hewan yang dipersembahkan di situ utamanya anjing, tapi itu khusus ritual itu. Karena maknanya anjing itu adalah penjaga/sahabat, disimbolkan begitu,” jelasnya.
Ketika ritual Rumamba, Walian (pemimpin ritual) akan memercikkan darah anjing ke seluruh pondasi dan tangga rumah dengan memanjatkan doa kepada leluhur. “Kurang lebih doanya, seperti anjing yang setia menjaga kita manusia, dia teman, maka diharapkan roh leluhur yang disebut Opo atau Apo itu menjaga rumah ini,” tambah Denni. Kemudian, daging anjing diolah menjadi makanan khusus untuk ritual itu yang disebut dengan sajian bumbu Rintek Wuuk atau RW. Hingga saat ini, hanya ada satu sajian khusus daging anjing karena tradisi tersebut.
Penyembelihan anjing pun tak bisa sembarangan karena dilakukan oleh jagal yang ahli di lokasi terpencil agar tak menimbulkan kesedihan. Saat itu, sudah timbul kesadaran bahwa anjing adalah sahabat dan memiliki ikatan batin dengan manusia sehingga tidak pantas jika disembelih di depan orang atau anjing lain. Hal itu dibuktikan dengan anjing yang diberdayakan untuk menjaga kebun, rumah, hingga menemani manusia ketika berburu di hutan.
Kebiasaan berburu satwa liar di hutan oleh masyarakat Minahasa ini disebut Mangasu. Istilah tersebut diambil dari kata asu yang artinya anjing, karena kegiatan berburu ini memang ditemani oleh anjing. “Dulu Mangasu dilakukan secara berkelompok, dengan tradisi mapalus (gotong royong). Kemudian masing-masing kampung atau Walak sudah mengatur yang mana tempat perburuan dan tempat berkebun,” jelas Denni. Karena perburuan dilakukan secara kolektif, maka hasil buruannya dibagi rata.
Kebiasaan berburu sendiri masih dipertahankan masyarakat Minahasa hingga saat ini. Hanya saja, kegiatan tersebut kini hanya dilakukan secara individu. Jika berkelompok pun, hanya dilakukan 2-3 orang.
Di sisi lain, pola konsumsi daging anjing di Minahasa mulai berubah saat masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945. Kala itu masyarakat Minahasa banyak yang tinggal di pengungsian, yang biasanya terletak di hutan dan perkebunan pinggiran kampung. Krisis pangan pun tak bisa dielakkan, karena hewan buruan di hutan semakin berkurang. Akhirnya, para pengungsi mengonsumsi daging anjing yang sudah menemani selama masa pengungsian.

Sedangkan kebiasaan makan daging kucing, hingga saat ini Denni tak menemukan asal tradisinya. Namun, ia mengatakan awalnya daging kucing dikonsumsi sebagai camilan (tola-tola) ketika masyarakat nongkrong sambil menenggak minuman beralkohol jenis Cap Tikus. “Tidak berburu di hutan tapi pemukiman, karena kucing dianggap tidak punya pemilik. Kebiasaan tersebut tumbuh ketika sudah ada domestifikasi kucing, jadi gaya hidup urban,” ucapnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh drh John. Menurutnya, mengonsumsi daging anjing dan kucing bukan merupakan tradisi namun hanya kebiasaan. “Kalau tradisi atau budaya harus ada daging itu dalam ritual, tidak bisa jalan kalau tidak ada. Kalau kami Natal, Pengucapan, tahun baru, tidak ada RW di meja makan tidak papa, tetap mau rayakan,” ucapnya.
Ia juga memprediksi mengonsumsi daging anjing dan kucing adalah kebiasaan baru. Pasalnya drh John pernah menemukan foto yang diambil sekitar tahun 1934 tentang penjualan anjing di wilayah Tondano, Kabupaten Minahasa, namun untuk menemani manusia berburu di hutan maupun kebun. Anjing-anjing tersebut membantu menangkap hewan buruan seperti tikus hutan hingga kelelawar. “Sekarang hewan buruannya sudah habis, jadi pemburunya yang dimakan,” sambung drh John.
Aturan Tak Mempan, AFMI Beralih ke Pemprov Gorontalo
drh John mengakui bahwa kebiasaan mengonsumsi daging anjing dan kucing di Tomohon masih marak dan tak bisa serta merta dilarang. “Sama saja berperang dengan warga, bahkan keluarga sendiri,” sambungnya. Namun dengan dikeluarkannya Perda Tomohon Nomor 1 Tahun 2017 maupun Instruksi Wali Kota Tomohon Nomor 108 Tahun 2023 harapannya bisa memutus rantai perdagangan secara perlahan. “Misalnya ada yang mau bawa 12 anjing saja, susah mau pendataan lagi ke dinas. Mereka bakal merasa rugi dan ribet, dari situ sebenarnya bisa dibatasi asal ketat,” ujar drh John.
3 Sosok Calon Ketua DPD PDIP Sulut yang Telah Diusulkan, 2 Kader Senior, 1 Politisi Milenial |
![]() |
---|
Kabar BSU Rp 900.000 Cair September 2025, Ini Kata Kemnaker |
![]() |
---|
BSU Dikabarkan Cair Lagi pada September 2025, Ini Informasinya Lengkap dengan Cara Cek Nama Penerima |
![]() |
---|
Kecelakaan Maut, Pelajar Perempuan Tewas Tertabrak Truk, Hendak Berangkat Sekolah Diantar Ibu |
![]() |
---|
Gempa Terkini di Sulawesi Utara Siang Ini Rabu 17 September 2025, Info BMKG Magnitudonya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.