Alat Musik Kolintang
Buku Kolintang The Sound of Heaven Diluncurkan, Perkuat Proses Pengakuan di UNESCO
Buku ‘Kolintang The Sound of Heaven’ karya Luddy Wullur dan Lidya Katuuk memperkuat proses pengakuan kolintang sebagai warisan budaya dunia.
Penulis: maximus conterius | Editor: maximus conterius
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Perjuangan Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan) Indonesia menjadikan alat musik kolintang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) semakin kuat dengan kehadiran buku ‘Kolintang The Sound of Heaven’.
Buku tersebut merupakan karya dua seniman kolintang Sulawesi Utara, Luddy Wullur dan Lidya Katuuk.
Peluncurannya di kompleks Balai Pustaka Matraman, Jakarta, Kamis (10/10/2024), dirangkaikan dengan acara bincang buku dengan moderator pegiat musik tradisi Sulut yang juga dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Ambrosius Markus Loho M.Fil.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Dewan Pembina Pinkan Indonesia Laksamana TNI (Purn) Prof DR Marsetio menyebut peluncuran buku ini adalah salah satu bagian dari perjuangan seluruh insan kolintang Indonesia.
Perjuangan yang dimaksud adalah proses pengajuan kolintang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dunia di UNESCO atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa.

Ketua Umum DPP Pinkan Indonesia Penny Iriana Marsetio mengatakan, apabila kolintang diakui UNESCO, hal ini akan membuat keberadaan alat musik tradisional dari kayu asal Minahasa, Sulawesi Utara, tersebut menjadi lebih terproteksi, bahkan bisa berkelanjutan dalam semua proses yang sebenarnya telah dan sedang berlangsung.
Peluncuran buku ini juga dihadiri para tokoh kolintang dari Surabaya, Manado dan Jakarta.
Juga dari undangan lainnya seperti penerbit dan percetakan Balai Pustaka Jakarta, Yayasan Kanker Indonesia, pengurus Pinkan Indonesia, perwakilan IPMKJ, dan lainnya.
Dalam pemaparan gambaran konteks buku ini, Wullur dan Katuuk mengatakan bahwa terdapat beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi.
Pertama, buku ini memiliki banyak muatan sejarah. Buku ini juga bisa menjadi intisari yang dapat dikembangkan karena memuat berbagai unsur seperti antropolog, sosial, budaya dan kesenian.

“Karena buku ini intisari, maka itu berarti bahwa masih bisa dikembangkan dari bab ke babnya, untuk membentuk judul-judul yang berdiri sendiri,” kata Katuuk.
Di sisi yang berbeda, Wullur mengatakan bahwa buku ini juga bisa menjadi pembelajaran dan bisa jadi dokumentasi penting bagaimana akar budaya kolintang yang berasal dari Minahasa ini.
Ulasan dan paparan kedua penulis dalam buku ini menjadi bukti bahwa musik Minahasa adalah sama dengan musik-musik lainnya, yang sumber bunyinya adalah berangkat dari alat itu sendiri.
Dalam 'closing remarks', moderator Ambrosius Markus Loho menegaskan bahwa kekuatan, bahkan harga sebuah bunyi melebihi apapun.
“Karena bunyi itulah yang mempersatukan semua hadirin dalam launching kali ini. Semoga ke depan sebagaimana kolintang yang terus bergaung, demikian juga ide dan gagasan buku jni kiranya terus digaungkan oleh siapapun dan di manapun,” kata Ambro, sapaannya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.