Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sosok Tokoh

Ketika Media Asing Sebut Soeharto Seperti Sosok Raja Jawa Zaman Dulu: Tidak Membagi Kekuasaan

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadinya peristiwa kontroversial yang berujung lengsernya Soekarno.

Editor: Rizali Posumah
Kompas.com/JB Suratno
Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto. 

"Dia melihat dirinya sebagai raja Jawa, dan raja Jawa tidak membagi kekuasaan," sambungnya.

Kondisi ini memunculkan, konfrontasi ini tidak hanya terjadi antara Presiden dan rakyatnya, namun juga antara masa lalu Asia dan masa depan Asia.

Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, Jenderal AH Nasution (kiri) dan Mayor Jenderal Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka.
Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, Jenderal AH Nasution (kiri) dan Mayor Jenderal Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka. ((Ade Sulaeman))

Ketika Soeharto merebut kekuasaan pada tahun 1966, Indonesia adalah negara dengan petani yang tidak berpendidikan, dan pendapatan per kapita tahunannya adalah 70 dollar AS.

Saat itu, wajar jika banyak orang menganggap pemimpin baru mereka dalam kerangka tradisional sebagai penguasa dengan wahyu.

Sebuah istilah yang sulit diterjemahkan tetapi mengacu pada keridhaan para dewa atau menunjukkan amanat ilahi.

Selama 32 tahun terakhir, Indonesia telah mencapai modernisasi yang menakjubkan dan telah mengembangkan kelas menengah yang semakin berpendidikan dan canggih.

Soeharto menghadirkan televisi berwarna, melek huruf, dan jalanan yang penuh dengan sepeda motor dan mobil kepada rakyatnya dan dalam semua kesibukan itu.

Tak hanya demikain, anak-anak muda juga mengobrol menggunakan telepon seluler di bawah Gapura Emas di Jakarta meski tidak menginginkan raja tradisional Jawa, dan mereka tidak terlalu percaya pada wahyu Soeharto.

Tidak semua orang setuju dengan analisis tersebut, namun Suharto tampaknya setuju.

Hal ini mungkin menjelaskan penolakannya terhadap kemarahan masyarakat dan rasa tanggung jawabnya bukan kepada mahasiswa tetapi kepada otoritas yang lebih tinggi.

"Saya selalu memohon kepada Tuhan untuk membimbing saya dalam setiap tugas saya," ungkap Soeharto dalam tulisannya.

"Saya percaya bahwa apa pun yang saya lakukan, setelah saya meminta bimbingan dan arahan dari Tuhan, apa pun hasilnya, inilah hasilnya. hasil bimbingan-Nya," paparnya.

Kesaktiannya mulai luntur semenjak sang Istri meninggal

Soeharto lahir di sebuah desa di Jawa Tengah 76 tahun yang lalu.

Bahkan, dalam pidatonya, ia kadang-kadang mengumpat dengan dialek Jawa, yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang dari daerah lain di negeri ini.

Sumber: Grid.ID
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved