Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Lebaran Ketupat

Sejarah Kampung Jawa Tondano Minahasa, Tempat Muasal Tradisi Lebaran Ketupat di Sulawesi Utara

Suasana harmoni dan penuh toleransi, terpampang jelas dengan banyaknya warga non Muslim yang datang bersilaturahmi ke rumah-rumah warga Jaton.

|
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Rizali Posumah
tribunmanado.co.id/Rizali Posumah
Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo, Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (17/4/2024). 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Hari Raya Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton), Minahasa, Sulawesi Utara, bukan hanya momen spesial bagi umat Muslim. 

Suasana harmoni dan penuh toleransi, terpampang jelas dengan banyaknya warga non Muslim yang datang bersilaturahmi ke rumah-rumah warga Jaton, Rabu (17/4/2024). 

Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton) Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tahun ini ramai, Rabu (17/4/2024).
Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton) Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tahun ini ramai, Rabu (17/4/2024). (tribunmanado.co.id/Mejer Lumantow)

Mereka bersendagurau bersama tuan rumah, bercengkrama dan menikmati hidangan lezat khas Lebaran Ketupat. 

Beberapa rumah warga Jaton juga menyuguhkan hiburan khusus berupa karaoke untuk para tamu. 

Tamu yang datang tak hanya warga biasa, banyak pula dari mereka adalah Aparatur Sipil Negara atau ASN. 

Suasana Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton), Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (17/4/2024). 
Suasana Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton), Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (17/4/2024).  (tribunmanado.co.id/Rizali Posumah)

Hal ini terlihat dari pakaian yang dikenakan, yakni berseragam Korpri. 

Tak hanya di rumah-rumah, keramaian juga terlihat jelas di jalanan. 

Banyak orang lalu lalang, pria dan wanita, bergantian masuk ke rumah-rumah untuk bertamu.

Di setiap sudut jalan, terdapat kendaraan roda empat dan roda dua yang diparkir. 

Sejatinya, tradisi Lebaran Ketupat di Sulawesi Utara berakar dari Kampung Jawa Tondano

Dari Jaton, tradisi Lebaran Ketupat kemudian menyebar hingga ke wilayah Sulawesi Utara lainnya, seperti Bolaang Mongondow Raya, Manado, Minahasa Raya, bahkan hingga ke Provinsi Gorontalo. 

Lebaran Ketupat aslinya disebut Ba'do Ketupat atau Ba'da Ketupat.

Ba'do atau Ba'da--belakangan biasa disebut Bakda--adalah Bahasa Arab yang berarti sesudah. 

Secara harafiahnya Ba'do atau Ba'da Lebaran ini, sesudah Lebaran (Idul Fitri). Karena digelar sepekan setelah Idul Fitri

Ba'da Ketupat digelar setelah menunaikan Puasa Syawal selama enam hari. 

Puasa Syawal dilakoni sejak 2 Syawal, selama enam hari dan puncaknya Lebaran Ketupat.

Di sebut Lebaran Ketupat, karena mereka yang merayakan menjadikan ketupat sebagai sajian. 

Kulit ketupat adalah anyaman janur. Bentuk yang populer saat ini prisma empat dimensi. 

Sebenarnya ketupat itu ada yang bentuknya mirip bawang. Dulu, menganyam ketupat dilombakan/

Ketupat dua macam, isinya beras atau ketan. Ketupat dimasak dalam santan berbumbu. 

Ketupat biasa disajikan dengan aneka lauk. Baik menu asli Jawa maupun Minahasa.

Sejarah Kampung Jawa Tondano

Sejarah Kampung Jawa Tondano di Minahasa tidak bisa dilepaskan dari sejarah Perang Jawa pada tahun 1825-1830.

Karena awal mula terbentuknya Komunitas Jawa Tondano adalah kedatangan para pengikut Kyai Modjo atau Kyai Muslim Muhammad Khalifah dan Pangeran Diponegoro yang diasingkan Belanda ke Tondano. 

Kyai Modjo merupaka seorang ulama terkenal di Jawa dan Panglima Perang Santri yang ditangkap Penjajah Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830).

Dilahirkan pada tahun 1764 di Modjo Bojolali/Solo Jawa Tengah, Kyai Modjo bergabung dalam Perang Jawa atas permintaan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825. 

Usia Kyai Modjo kala itu tak muda lagi, yakni 61 tahun. 

Oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Modjo lantas diangkat sebagai Penasehat Agama dan Panglima Perang Santri. 

Peran pentingnya dalam Perang Jawa membuat dirinya menjadi salah satu target utama Belanda. 

Bagi Belanda Kyai Modjo adalah musuh yang ditakuti.

Kyai Modjo ditangkap tentara Belanda saat meninggalkan tempat perundingan dengan Belanda di Klaten Jawa Tengah bersama 500 pengikutnya.

Dirinya dicegat tentara Belanda ketika akan pulang ke Pajang, berdasarkan perintah Jenderal de Kock.

Penangkapan itu sebenarnya bertentangan dengan etika perang saat itu, karena apabila perundingan terjadi dan tidak ada kesepakatan tidak boleh ada mata-mata dan penangkapan.

Kelak tindakan tidak etis ini disesalkan Pangeran Hendrik.

Para pengikut Kyai Modjo ini semuanya pria, mereka lalu dibawa dan diasingkan ke tanah Malesung (sekarang Minahasa). 

Oleh Belanda, para pria ini tidak diperkanankan membawa istri.

Sesampainya di Tondano, para pengikut Kyai Modjo ini beradaptasi dengan baik lewat pergaulan dengan penduduk setempat. 

Walhasil lambat laun, mereka pun kemudian bisa diterima meminang dan menikahi wanita penduduk asli Minahasa, terutama di Tondano dan Tonsea Lama.

Terbentuknya Komunitas Jawa Tondano atau Jaton

Terbentuknya komunitas atau orang Jawa Tondano berawal dari seorang pemuda bernama Tumenggung Zees, yang di usia 20 tahun kawin dengan Wurenga anak gadis Walak Tonse Lama, Rumbayan. 

Disusul kemudian oleh anak dari Kyai Modjo yakni Gazali Modjo yang kawin dengan Ingkingan Tombokan anak dari Walak Tondano Tombokan.

Selanjutnya, Haji Ngiso atai Wiso Pulukadang, Komandan Pasukan dan Penasehat Pangeran Diponegoro kawin dengan anak Opo Pakasi Warouw Walak Kakas.

Sementara Asnawi Tumenggung Reksonegoro Pulukadang menikah dengan Wuring Tumbelaka anak Walak Amurang.

Haji Tayeb menikah dengan Rea Wenas dari Tonsea Lama (asal Tomohon).

Ali Imran (Masloman) menikah dengan Yehia Ratulangi asal Paleloan Urongo Tondano.

Di tahun 1831, dicatat kurang lebih 50 50 orang pengikut Kyai Modjo telah kawin dengan gadis asli Minahasa dan mereka semua masuk Islam mengikuti suami. 

Dari pernikahan inilah hingga menurunkan generasi yang dinamakan Jawa Tondano yang beragama Islam dan mewarisi paduan budaya Jawa dan Minahasa dengan keunikannya tersendiri.

Knini, Makam Kyai Modjo telah menjadi salah satu kawasan budaya bagian dari Kampung Jawa Tondano sebagai kawasan Strategis Propinsi Sulawesi Utara.

Peresmian terbentuknya Desa Kampung Jawa, tepatnya di bulan Haji Hijriah bertepatan dengan tahun 1831 Masehi, di mana bertepatan dengan kawinnya anak dan para pengikut Kyai Modjo dengan perempuan Minahasa. (MJR/RIZ/NDO)

Sebagian artikel ini disadur dari artikel berjudul Sejarah Terbentuknya Komunitas Jawa Tondano di Minahasa dan Warisan Tradisi Kyai Modjo Turun Temurun. dan Lebaran Ketupat di Sulawesi Utara, Warisan Budaya Kyai Modjo dan Temurun Komunitas Jawa Tondano.

 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved