Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pilkada 2024 di Sulut

Jelang Pilkada di Sulut, Calon Kepala Daerah Harus Seimbang Tangani Persoalan Akses Pendidikan

Dalam menyikapi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sulut, tantangan pada sektor pendidikan harus menjadi sorotan bagi para calon

Ist
Dosen dari IAIN Manado, Sulaiman Mappiasse 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Dalam menyikapi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sulawesi Utara, tantangan pada sektor pendidikan harus menjadi sorotan bagi para calon nanti.

Baik untuk Walikota, Bupati maupun calon Gubernur di Sulawesi Utara.

Dosen dari IAIN Manado, Sulaiman Mappiasse PhD menekankan pentingnya perhatian terhadap kualitas pendidikan dan tenaga pendidik.

Ia menjelaskan, aksesibilitas dan kualitas dalam pendidikan merupakan dua kutub yang sangat sulit dipertemukan di negara-negara miskin dan berkembang.

"Dengan anggaran terbatas, fokus yang berlebihan pada pemerataan akses pada pendidikan dapat menggeser perhatian dari persoalan kualitas.

Sebaliknya, fokus yang berlebihan pada kualitas dapat mempertajam kesenjangan akses, apabila dilakukan secara tersegmentasi," ucapnya pada Tribunmanado.co.id, Sabtu (16/3/2024).

Karena itu, para calon kepala daerah seharusnya merumuskan formulasi yang seimbang dan terukur dalam menangani persoalan pemerataan akses pada pendidikan yang berkualitas.

Ia mengatakan, Pemerintah tidak boleh berpikir normatif seperti yang berlaku sekarang.

Mereka harus menemukan terobosan yang berbasis data dan penelitian ilmiah seperti yang dilakukan di negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang merata dan berkualitas.

Setelah menemukan formulasi kebijakan yang inovatif, pemerintah harus melibatkan semua pihak secara nyata dalam implementasinya.

"Di lapangan, sering terkesan bahwa urusan pendidikan hanya milik dinas tertentu sehingga masyarakat sipil tidak dilibatkan secara aktif.

Salah satu contohnya, data-data penting terkait pelaksanaan pendidikan kita sangat sulit diakses oleh publik, baik di tingkat sekolah maupun dinas.

Akibatnya, para pemerhati pendidikan sulit memberikan masukan yang tepat bagi para pemangku kepentingan karena tidak punya akses secara mudah pada data yang akurat," ujarnya.

Kemudian, selama ini para calon kepala daerah di masa-masa kampanye lebih banyak mengelabui masyarakat dengan janji-janji pendidikan gratis.

"Padahal, sebenarnya pendidikan gratis yang mereka janjikan bukan terobosan inovatif, tetapi hanya pembodohan saja.

Sebab ujung-ujungnya, dana pendidikan gratis itu tetap berasal dari pendapatan negara, bukan sumber dana baru yang lahir dari inovasi mereka".

Apalagi pemerintah daerah, hingga hari ini, meskipun undang-undang telah mengamanatkan alokasi anggaran 20 persen dari APBD untuk pendidikan, sebagian besar dana pendidikan di daerah masih berasal dari APBN.

"Lalu, masalahnya tidak berhenti sampai di situ, sebagian besar anggaran yang ada masih untuk belanja operasional, belum banyak menyentuh peningkatan kualitas," sambungnya.

Lalu dari sisi jumlah guru, Sulaiman mengatakan Indonesia tidak kekurangan guru.

"Secara nasional, rasio guru dan siswa sangat ideal. Yang terjadi adalah ketimpangan distribusi guru.

Guru-guru yang berkualitas, yang jumlahnya terbatas, menumpuk di wilayah-wilayah perkotaan, khususnya di kota-kota maju.

Jadi, pemerintah atau calon pemerintah daerah harus punya terobosan untuk mengurai persoalan ketimpangan distribusi ini," tegas dia.

Salah satu caranya, memberikan insentif yang besar kepada para guru untuk mengajar di wilayah-wilayah yang membutuhkan.

Di saat yang bersamaan, infrastruktur sosial dan ekonomi di wilayah-wilayah yang kurang diminati guru itu dikembangkan secara serius sehingga orang-orang betah untuk tinggal di sana.

Dari sisi kualitas guru, persoalannya sangat kompleks dan melibatkan berbagai aktor lintas sektor.

Di samping memperbaiki proses rekrutmen, lingkungan kerja, dan penggajian, pemerintah daerah harus membangun kemitraan dengan pusat-pusat pendidikan guru.

Kualitas guru sangat ditentukan oleh bagaimana mereka diproduksi, direkrut, dan dikelola dalam lingkungan pendidikan.

Meskipun pusat-pusat pendidikan guru sudah melakukan yang terbaik dalam melahirkan calon-calon guru yang berkualitas, kalau proses rekrutmen tidak berbasis merit atau kemampuan dan kompetensi, maka pekerjaan guru akan diisi berdasarkan hubungan-hubungan yang tidak profesional, seperti kekerabatan atau kesamaan golongan.

Sebaliknya, meskipun pengelolaan dan penggajian guru telah sangat baik, apabila pusat-pusat pendidikan guru tidak menyiapkan calon-calon guru dengan standar kualitas yang baik, maka guru-guru kita akan tetap seperti sekarang ini.

Terakhir, penanganan soal akses pada pendidikan berkualitas dan guru berkualitas tidak dapat dipisahkan dari daya kritis dan partisipasi masyarakat sipil.

"Semakin banyak masyarakat sipil yang kritis terhadap isu-isu pendidikan kita, semakin tinggi peluang kita untuk melakukan perbaikan secara bertahap.

Dalam sistem politik demokrasi, seharusnya kekritisan dan partisipasi masyarakat sipil menentukan kinerja para pelaku dan pemangku kebijkan," pungkasnya. (Pet)

 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved