Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Nasional

Pernah Serang Manusia, Kini Harimau Disebut Pahlawan oleh Warga Tapaktuan Aceh dan Dijuluki Nenek

Terlepas dari kejadian harimau serang warganya, keberedaan harimau ini justru menjadi keuntungan juga bagi masyarakat.

|
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
tribunmanado.co.id/Indri Panigoro.
ternak Dedi yang berada di kandang antiserangan harimau di Desa Lhok Bengkuang Timur, Tapaktuan Aceh 

Ketika harimau ini mulai berkurang dalam hutan, hewan lain seperti babi justru akan memakan tanaman warga disebabkan tidak ada yang menjaga perkebunan secara alami.

Pengurus KSM Rimeung Aulia saat menceritakan kepada wartawan kalau warganya pernah dimakan harimau
Pengurus KSM Rimeung Aulia saat menceritakan kepada wartawan kalau warganya pernah diserang harimau

Harimau ternyata juga memberi tanda kepada manusia agar tidak mengizinkan warga berkebun, dengan cara mencakar tanah atau jalur yang biasa dilewati manusia.

Itu pertanda warga harus berhati-hati dan jangan pergi ke kebun, mungkin dia sedang melakukan aktivitas sedang mencari mangsa.

“Masyarakat Panton Luas secara umum memang sudah mengetahui terhadap tanda-tanda yang dimunculkan harimau, tapi bagi generasi muda, perlu memberikan edukasi tentang bagaimana mitigasi konflik yang baik dan melihat pertanda apa saja ditunjukkan dari harimau untuk manusia,” terang Yan.

Oleh karena itu, kata Yan Ferial masyarakat di Desa Panton Luas ini senang bisa hidup berdampingan dengan harimau.

“Di sini kami menyebut harimau dengan sebutan nenek, dengan apa yang sudah dilakukan oleh nenek warga mulai sadar hidup berdampingan dengan satwa liar itu penting, kebutuhan ekosistemnya terjaga lagi. Metodenya yang dilakukan yakni mengedukasi masyarakat bagaimana mitigasi konflik satwa liar yang kami sampaikan,” kata Yan.

Hal inilah yang yang membuat kenapa KSM Rimeung Aulia kemudian dibentuk.
Pembentukan KSM Rimeung Aulia ini mendapat dukungan Pemkab Aceh Selatan.

Melestarikan adat dan kearifan lokal menjadi hal yang terus dijaga KSM Rimeung Aulia sebagai bagian dari memitigasi konflik antara manusia dan harimau.

Ada beberapa hal yang telah dilakukan KSM Rimeung Aulia.

Tidak berbuat tercela, tidak melanggar budaya dan adat-adat desa.

Selain itu mereka juga melakukan doa tolak bala setiap rabu abeh (rabu terakhir pada bulan shafar).

Pada rabu abeh itu masyarakat berdoa dan memberikan makan kepada harimau.
Lebih lanjut, Yan Feriyal mengungkap pantangan yang perlu diperhatikan saat menghadapi harimau.

Yang pertama tentunya harus tenang dan jangan lari.

Hal lainnya yakni perlu memperhatikan kebiasaan yang mungkin dianggap sepela tapi nyawa bisa jadi taruhannya.

“Saat ada di hutan untuk berkebun ketika baju kita berkeringat kita tidak boleh menggantung baju di tunggul pohon kayu, karena kalau ada angin bajunya tergoyang sehingga akan memancing harimau, dianggap itu mangsanya,” terang Yan.

Menurut Feriyal, satwa liar di kawasan Panton Luas dengan luas hutan sekitar 8.000 hektare itu tidak hanya harimau.

“Satwa lainnya juga masih ada. Yang tidak ada cuma tiga: buaya, badak, dan singa,” ujarnya.
Senada dengan Yan Ferial, Masrita Ketua KSM Rimeung Aulia mengungkap untuk menghindari terjadinya konflik harimau dengan manusia dan agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan harimau, warga desa terus menjaga kearifan lokal. Salah satunya dengan memberi makanan kepada harimau, terutama pada hari besar Islam.

“Intinya bagaimana kita bisa menghargai satwa liar yang seakan dapat berteman dengan mereka. Artinya, kalau kita mengabaikan doa tolak bala sehingga akan berdampak pada perkebunan masyarakat sekitar, perlu menghargai antarsesama meskipun tempat tinggal di daerah pedalaman,” kata Masrita, didampingi Kepala Desa Panton Luas, Abu Hanifah, Wakil KSM, Zulbasni, dan Sekretaris KSM, Yan Feriyal.

Adik Korban Terkaman Harimau Kini Jadi Pelindung si Raja Hutan, Menangis Kalau Harimau Mati

“Pertama melihat harimau pasca meninggalnya abang, sakit hati saya, namun saya sadar bahwa itu hanyalah makhluk yang tidak sempurna, tidak mempunyai akal fikiran,” kata Tim Leader Human Wildlife Conflict Mitigation (HWCM) Aceh Selatan, Musir Riswan.

Meski kakaknya tewas diserang harimau, Musir mengaku saat ini Ia senang melihat harimau.
“Entah kenapa ketika melihat harimau mati, saya malah nangis. Saat itulah Ia mulai berfikir upaya apa yang harus dilakukan agar tidak ada lagi interaksi negative.

Lebih lanjut kata Musir, dalam tradisi itu, warga memberi makanan kepada harimau berupa nasi putih dan telur rebus yang diletakkan di jalur-jalur potensial dilintasi satwa liar tersebut.
Dengan berbagi rezeki itu diharapkan bisa meminimalisir interaksi negatif manusia dan harimau.

Kata Musir, Aceh Selatan juga kental dengan kearifan lokalnya dalam menghormati satwa liar. Di antaranya, tradisi rabu abeh.

Musir menyebut selama ini HWCM melakukan mitigasi konflik harimau dengan manusia dengan pemasangan kamera trap khusus dalam kawasan hutan guna melihat ataupun menghitung populasi harimau.

Dedi Suhendri dan Musir saat berdialog dengan wartawan di depan kandang ternak antiserangan harimau
Dedi Suhendri dan Musir saat berdialog dengan wartawan di depan kandang ternak antiserangan harimau

“Dari data selama ini, kamera trap tidak bisa mengindentifikasi atau memberi informasi kepada kita tentang usia harimau yang muncul. Itu memang harus dilihat secara langsung dari ukuran gigi dan segala macam. Namun, dari kamera tersebut kita bisa melihat fisiknya dan juga perkiraan usia,” kata Tim Leader Human Wildlife Conflict Mitigation (HWCM) Aceh Selatan, Musir Riswan.

Pihaknya juga mengindentifikasi harimau yang berkonflik dengan warga. Dia menyebut dominan harimau beranak dan cenderung keluar dari kawanannya untuk menghindar dari harimau jantan.

“Artinya, harimau berkonflik merupakan harimau sedang beranak, dan ini lebih berbahaya karena mengajari anaknya untuk berburu,” kata Musir.

Menurutnya, hampir setiap dari 18 kecamatan yang ada di Aceh Selatan berpotensi terjadi interaksi negatif dengan harimau, karena daerah ini letaknya antara pesisir dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan.

Oleh karena itu, dia berharap masyarakat membangun kandang antiserangan harimau (TPE) seperti di Lhok Bengkuang Timur agar ternak terjaga.
“Dengan adanya TPE itu yang dibantu BKSDA, sangat bersyukur untuk pengamanan ternak jika ada gangguan harimau,” ujarnya.

Sekadar diketahui Musir adalah adik kandung dari Martunis warga Desa Panton Luas yang tewas diserang harimau pada 2010 silam. Bergabungnya Musir di HWCM ini tak lepas dari insiden yang merenggut nyawa kakaknya.

“Pascamusibah almarhum abang. Saat itu saya melihat ada aktivitas respon konflik yang dilakukan pihak BKSDA Aceh. Rasa penasaran dengan apa yang mereka lakukan, apakah upaya ini tepat atau hanya sekedar formalitas untuk menenangkan warga inilah yang akhirnya membuat saya bergabung dengan HWCM,” aku Musir.

Kepala BKSDA Aceh Gunawan Alza, S.Hut kepada Tribunmanado.co.id menjelaskan jika saat ini pihaknya telah melakukan berbagai strategi untuk memitigasi konflik harimau dan manusia di Aceh.

Selain melakukan sosialisasi ke masyarakat di daerah rawan konflik melalui pemasangan papan informasi, penyadartahuan dan kampanye, BKSDA juga melakukan pemasangan kamera jebak, pembuatan kandang anti serangan harimau bersama mitra dan masyarakat, membentuk kelompok swadaya masyarakat untuk mitigasi konflik, survey okupansi, operasi sapujerat, penghalauan dengan mendatangkan pawing hingga evakuasi dan translokasi.

“Bukan hanya BKSDA, pemerintah daerah, KPH, NGO atau LSM, TNI, Polri, BBTGNL dan serta perguruan tinggi saja yang harus berperan, dalam hal mitigasi konflik diperlukan juga peran dari masyarakat,” kata Gunawan Alza saat dihubungi via WhatsApp belum lama ini. (Ind)

Baca Berita Lainnya di: Google News

Sumber: Tribun Manado
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved