Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pengungsi Rohingya

Terungkap Alasan Pengungsi Rohingya Melarikan Diri, Padahal Dijatah Makan Rp 124 Ribu Sehari

Jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh tercatat memecahkan rekor pada tahun ini.

Editor: Glendi Manengal
Serambinews.com/Maulidi Alfata
Pengungsi Rohingya 

Beberapa ratus orang tewas saat mencoba berlayar dengan kapal yang penuh sesak dan tidak layak. 

“Saya yakin akan ada lebih banyak orang dalam perjalanan, tapi (jumlah) angka pastinya tidak tahu berapa,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok yang memantau dengan cermat kapal-kapal tersebut, dikutip dari VOA.

“Saya memperkirakan akan ada lebih banyak lagi yang akan datang,” ujar Usman Hamid, direktur Amnesty International untuk Indonesia.

Kelompok bantuan dan advokasi, serta para pengungsi itu sendiri, menganggap peningkatan jumlah tersebut disebabkan oleh kondisi yang semakin memburuk di kamp-kamp Bangladesh.

Sehingga memudarnya harapan bahwa warga Rohingya akan dapat kembali dengan selamat ke Myanmar dalam waktu dekat.

Myanmar pada umumnya menolak kewarganegaraan Rohingya dan memicu perang saudara di seluruh negeri akibat kudeta militer pada tahun 2021. 

Sementara itu, di kamp-kamp yang tertutup di wilayah timur Bangladesh, para pengungsi mengeluhkan meningkatnya kekerasan geng, kurangnya lapangan pekerjaan dan sekolah, serta terbatasnya jatah makanan. 

Program Pangan Dunia PBB, sumber utama bantuan pangan bagi para pengungsi, memotong nilai uang bulanan di kamp-kamp pada Juni 2023, untuk kedua kalinya tahun ini, menjadi rata-rata USD 8 per orang atau Rp124 ribu.

Badan itu telah menyalahkan kurangnya dukungan para donatur.

“Semua hal ini mendorong orang-orang Rohingya untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya,” kata Mohammed Rezuwan Khan, seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp.

Dia mengatakan bahwa saudara perempuan dan keponakannya melarikan diri dari kamp dengan perahu tahun lalu, menuju Indonesia, dan mereka semua tahu risikonya.

“Tetapi ketika orang-orang tidak punya pilihan lain, ketika orang tidak dapat melakukan perjalanan dengan paspor seperti orang-orang lain di dunia,”

“ketika orang-orang tidak memiliki harapan untuk kembali ke Myanmar dalam waktu dekat dalam beberapa tahun mendatang,”

“ketika orang-orang mengalami banyak penderitaan di kamp pengungsian, maka perjalanan tersebut menjadi pilihan terakhir dan tidak dapat dibatalkan,” kata Khan.

“Ini seperti melempar koin. Kami akan bertahan atau kami akan mati” ujarnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved