Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Mata Lokal Memilih

Pencalonan Gibran Rakabuming Maju Cawapres di Pilpres 2024 Masih Belum Aman, Mengapa?

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai Cawapres pendamping Capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024 masih belum aman. Mengapa?

Editor: Frandi Piring
Tribunnews/Jeprima
Pencalonan Gibran Rakabuming Maju Cawapres di Pilpres 2024 Masih Belum Aman. Potret Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming Raka. Gibran membocorkan program-program unggulannya jika terpilih dalam Pilpres 2024. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka telah dideklarasikan sebagai bakal calon wakil presiden untuk mendampingi bakal calon presiden Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

Gibran dideklarasikan Koalisi Indonesia Maju pada Rabu (25/10/2023).

Pada hari itu pun, paslon Prabowo-Gibra mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Terendus, Pencalonan Gibran Rakabuming membuat publik terhenyak.

Pasalnya, Gibran hanya dapat maju menjadi bakal calon wakil presiden setelah ada putusan perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon presiden dan wakil presiden.

Persoalanya, putusan tersebut dinilai kontroversial. Itu pun, posisi pencalonan Gibran masih belum sepenuhnya aman.

Ada beberapa faktor dan proses berjalan yang dapat berimplikasi pada legalitas pencalonannya.

Berikut kilas balik dan ulasannya. 

Kilas balik

Pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang dimotori empat partai pemilik kursi di DPR, yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat.

Bersama mereka juga ada empat partai non-parlemen, yaitu PBB, PSI, Partai Garuda, dan Partai Gelora. Satu partai lokal Aceh bergabung pula di koalisi ini, yaitu Partai Aceh. Partai Prima yang tak lolos menjadi peserta Pemilu 2024 juga bergabung ke Koalisi Indonesia Maju. 

Gibran dapat maju menjadi bakal calon wakil presiden dan mendaftarkan diri ke KPU setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Senin (16/10/2023).

Putusan tersebut terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Semula Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden adalah 40 tahun. 

Putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 mengubah ketentuan tersebut menjadi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Dengan putusan ini, Gibran yang belum berusia 40 tahun tetapi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo punya dasar untuk didapuk menjadi bakal calon wakil presiden.

Baca juga: Begini Proses Terpilihnya Gibran Jadi Cawapres Dampingi Prabowo , Fahri Hamzah: Awalnya Banyak Nama

Kontroversi putusan MK

Meski demikian, putusan MK yang menjadi pintu bagi pencalonan Gibran ini menjadi kontroversi publik. 

Bahkan dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, kontroversi sudah mencuat.

Adalah hakim konstitusi Saldi Isra yang mengurai kejanggalan proses pengambilan putusan perkara itu dalam dissenting opinion-nya.

Kejanggalan juga diungkap dalam dissenting opinion hakim konstitusi Arif Hidayat dalam  putusan yang sama. 

Singkat ceritanya, ada lima perkara berjalan dengan pokok permohonan uji materi menyoal Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Tiga perkara pertama mendapatkan amar penolakan, yaitu perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Namun, perkara keempat, yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, tiba-tiba membalik arah putusan dalam pokok persoalan yang sama tersebut. 

Kejanggalan dalam proses formal administrasi juga terjadi pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023.

Dua perkara ini sempat dicabut di tengah proses yang telah berjalan tapi kemudian pencabutan dibatalkan. 

Yang menjadi masalah, proses penanganan kedua perkara berlanjut begitu saja, sekalipun sempat ada pencabutan dan pembatalan pencabutan tersebut, seolah tidak ada kedua peristiwa itu. 

Kontroversi terbesar, perubahan arah angin putusan MK terjadi karena faktor tidak ikut serta atau ikut sertanya Ketua MK Anwar Usman

dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH) untuk pengambilan putusan atas kelima perkara tersebut. 

Baca juga: Nasib Jabatan Wali Kota Solo Usai Gibran Jadi Cawapres Prabowo, Olly: Kepala Daerah Tak Bisa Dipecat

Tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved