Opini
Kajian Terhadap Kesiapan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu 2024
PARADIGMA susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002
Penulis:
M Firman Mustika SH MH
(Ketua Program Studi Hukum di Universitas Trinita dan Attorney & Legal Consultant Perusahaan dan Lembaga Negara)
Bagaimana Kesiapan MK dalam Menangani Sengketa Pilkada dan Pemilu di 2024?
PARADIGMA susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002.
Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru kemudian dibentuk, meskipun ada juga lembaga negara lain yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Dalam prosesnya MK di dirikan pada tahun 2003, MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Termasuk adalah kewenangan penyelesaian sengketa dalam sistim demokrasi Pemilu dan Pilkada.
Dalam penyelenggaraan pemilu, dibutuhkan kesiapan semua pihak, baik penyelenggara pemilu maupun lembaga penyelesai sengketa pemilu.
Kesiapan semua pihak yang dimaksud adalah kesadaran mengawal dan turut terlibat serta berparisipasi aktif dalam penyelenggaraan baik pemilu maupun pilkada.
Oleh karena itu, dalam keberlangsungan system demokrasi pemilu dan pilkada perlu keterlibatan efektif tidak hanya dilakukan oleh MK, tetapi juga dari partai politik sebagai peserta pemilu dan pilkada, sehingga bisa mengurangi perselisihan dan sengketa dalam pemilu dan pilkada.
Thomas Meyer, 2012: 33. Di antara banyak fungsi demokratisasi oleh parpol, ada lima yang sangat penting :
1. Mengagregasikan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dan berbagai kalangan masyarakat.
2. Menjajaki, membuat, dan memperkenalkan kepada masyarakat platform pemilihan umum parpol mereka.
3. Mengatur proses pembentukan kehendak politis (‘political will’) dengan menawarkan alternatif-alternatif kebijakan yang lebih terstruktur.
4. Merekrut, mendidik, dan mengawasi staf yang kompeten untuk kantor publik mereka dan untuk menduduki kursi di parlemen.
5. Memasyarakatkan, mendidik, serta menawarkan kepada anggota-anggotanya saluran mana yang efektif bagi partisipasi politik mereka sepanjang masa antar pemilu.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya MK yang paling berperan penting dalam penentuan hasil pemilu dan pilkada apabila dalam prosesnya memiliki perselisihan dan sengketa.
MK yang akan memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil pemilu dan pilkada dengan membawanya dari konflik yang terjadi. Di tingkat tertentu MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilu dan pilkada yang demokratis.
Akan tetapi, dalam titik tertentu, MK juga selalu memiliki masalah yang mengganggu perannya sehingga tidak berjalan secara efektif.
Seperti yang dikemukakan oleh Janedjri M. Gaffar, 2009: 13. Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation).
Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Apa yang disebutkan di atas juga berbanding lurus dan sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 24 C UUD 1945, wewenang MK adalah “menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
a. Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya.
Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review12.
Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b. Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.
Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.
MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c. Pembubaran Partai Politik
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi.
Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d. Perselisihan Hasil Pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
e. Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Banyak harapan di tahun 2024 nanti pemilihan umum yang Luber Jurdil yakni dilakukan secara bebas, rahasia, jujur dan adil akan menjadi sesuatu yang mutlak bagi Negara hukum demokratis, maka dengan adanya Bawaslu serta Mahkamah Konstitusi menjadi benteng terakhir penjaga konstitusi di indonesia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.