Catatan Wartawan
Nyepi dan Kemakmuran di Mopuya Bolmong Sulawesi Utara
Di hari raya nyepi, saya kerap teringat Mopuya.Desa di pedalaman Kabupaten Bolmong Sulawesi Utara ini mayoritas penduduknya beragama Hidu
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Chintya Rantung
TRIBUNMANADO.CO.ID - Di hari raya nyepi, saya kerap teringat Mopuya.
Desa di pedalaman Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara (Sulut) ini mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Beberapa tahun lalu, saat masih kepala biro di Bolmong, saya selalu ke desa ini kala Nyepi. Untuk meliput 1001 cerita di balik keheningan yang kudus itu.
Salah satunya kisah menyentuh tentang umat beragama lain yang ikutan "nyepi" demi menghargai saudaranya umat Hindu.
Namun kisah Mopuya bukan hanya Nyepi. Tapi juga kemakmuran.
Memasuki desa tersebut, aroma kemakmuran terasa kuat.
Rumah mewah sekaligus tempat usaha.
Tempat pemujaan dengan arsitektur Hindu beserta taman yang asri dalam kompleks rumah.
Kendaraan roda empat dan dua berjejer di garasi yang letaknya di belakang tempat pemujaan.
Di kiri kanan jalan terdapat toko - toko besar yang menjual pakaian, alat bangunan hingga ponsel.
Sawah berukuran besar dan terawat menyeruak di antara rumah penduduk.
Menurut saya, ini desa paling makmur di Sulut. Salah satu cirinya adalah jika barang anda jatuh disana, tak usah takut hilang.
"Kalau dompet Anda jatuh di sini, tak ada yang akan ambil," kata seorang warga kepada saya.
Kemakmuran tersebut merupakan buah perjuangan dari warga transmigran Bali.
Perjuangan mereka bak kisah perwayangan, di mana seseorang harus menahankan derita yang panjang, menanggung hinaan, demi menempuh jalan yang mulia, dan akhirnya kemenangan jadi milik yang tabah, tulus serta sabar.
Saya berjumpa dengan Made Gunung, salah satu transmigran generasi pertama.
Ia bercerita, mereka sekeluarga bermigrasi ke Bolmong pada tahun 1974.
"Waktu itu Bali sudah sangat padat, lahan sangat sempit, hingga ayah kami memutuskan menerima tawaran bertransmigrasi," kata dia.
Sebab lain, beber dia, adalah meletusnya gunung agung di Bali.
Made yang waktu itu baru berumur 11 tahun, naik kapal bersama ayah, ibu dan lima saudaranya.Malangnya, sang ibu wafat di kapal.
"Terpaksa jenazah ibu kami tinggalkan di Sulawesi Selatan," kata dia.
Dalam keadaan masih berduka, mereka mendarat di Inobonto.
Perjalanan menuju Dumoga memakan waktu hingga sehari.
"Kami naik truk tapi jalan waktu itu sangat sulit, banyak sungai kecil dan jembatan masih pakai batang kelapa," kata dia.
Ia bercerita, sebuah sungai harus dilewati dengan berenang.
Tiba di Mopuya, Made sekeluarga mendapati lahan yang dijanjikan masih hutan belantara.
"Masih hutan rimba, kami ditampung sementara di rumah seorang jawa yang lebih dulu bermukim di sana," kata dia.
Made menjelaskan, lahan untuk rumah maupun lahan pertanian yang diberikan pada warga sudah ditandai.
Persoalannya tak mudah mencarinya di tengah hutan belantara.
"Kami harus naik pohon yang tingginya puluhan meter untuk melihat di mana lahan kami," kata dia.
Melewati deretan pohon berdiameter hampir dua meter, menyusuri rawa, Made sekeluarga mencari lahan mereka dengan tekun.
Kadang sampai berhari hari lamanya. Sebuah rumah gubuk pun berdiri di tengah hutan.
Namun masalah tak berhenti.
"Kini jadi masalah bagaimana kami makan, makanan tak ada, pasokan beras sering tersendat, uang pun tak ada," kata dia.
Made bercerita, sang ayah kerap berjalan kaki hingga belasan kilometer hanya untuk mengambil ubi.
Setiap hari mereka makan ubi.
"Hidup kami sangat sulit, waktu itu banyak yang ingin kembali ke Bali tapi tak sanggup karena tak punya uang, kami berpikir entah sampai kapan hidup seperti ini," kata dia.
Made memulai usaha pertaniannya dengan menanam kedelai. Kemudian jagung.
Tahun 1990, mulailah ia menanam padi sawah.
Ekonomi keluarga pun terkatrol.
Kini ia punya sebuah rumah yang besar, tempat usaha, mobil serta tempat pemujaan keluarga di dalam halaman rumah.
Ia membeber, kerja keras adalah kuncinya.
"Kami datang di sini hanya fokus bekerja, tak ada hal lain yang dipikirkan, hanya bekerja dan fokus, ulet, hemat dan pantang menyerah, itulah kuncinya," kata dia.
Ia mengaku sudah betah di Bolmong.
Tanah Bali hanya enam kali diinjaknya setelah ia bermukim di Bolmong. (Arthur Rompis)
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.
Baca juga: Sosok Firsya Hutami Rachman Anak Sultan Jailolo, Model Cantik Kini Coba Caleg DPRD Maluku Utara
Baca juga: BP2MI Sulawesi Utara: Hati-hati, Kamboja Bukan Negara Penempatan Pekerja Migran Indonesia
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.