Korban Perdagangan Orang
WNI Asal Sulawesi Utara jadi Korban Perdagangan Orang, Haryadi: Polisi Harus Usut Agen Perektrut
WNI Asal Sulawesi Utara jadi Korban Perdagangan Orang, Haryadi: Polisi Harus Usut Agen Perektrut.
Penulis: Rhendi Umar | Editor: Rizali Posumah
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Adanya 34 WNI asal Sulawesi Utara yang dijebak di Kamboja dengan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( TPPO ) tentunya menjadi hal yang patut disayangkan.
Pasalnya, TPPO ini menjadi perhatian secara nasional sejak beberapa tahun dan menjadi komitmen pemerintah Republik Indonesia terhadap permasalahan TPPO.
Sehingga di setiap daerah dibentuk gugus tugas untuk menyikapi persoalan TPPO tersebut.
Pengamat Hukum Vebry Try Haryadi melihat tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.
Dan kejahatan yang terorganisir dengan baik yang melibatkan berbagai komponen masyarakat yang ada baik secara nasional, regional maupun internasional secara sistematis dan terstruktur.
"Sehingga ini menjadi musuh bersama untuk kita tindaki dengan ketegasan hukum yakni Undang-Undang ( UU) NO. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),"jelasnya.
Menurutnya dengan adanya warga Sulut yang menjadi korban dari Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kamboja harus disikapi serius.
Bukan hanya bagi pihak Kepolisian saja, melainkan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) baik Provinsi maupun kota dan kabupaten serta instansi vertikal lainnya terkait dengan persoalan TKI.
"Sangat respek dengan gerak cepat dari pak Kapolda Sulawesi Utara (Sulut) Irjen Pol Setyo Budianto dengan mengirimkan timnya ke Kamboja.
Sehingga kiranya hal ini ditindaklanjuti dengan mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman secara ilegal TKI asal Sulut yang menjadi korban dugaan TPPO itu," jelasnya.
Menurut Haryadi, TPPO ini adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan yang harus terus diseriusi oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah di Sulut.
"Ini persoalan lintas sektoral alias persoalan yang melibatkan semua komponen di negara kita.
Termasuk keseriusan pemerintah daerah dimana telah dibentuk gugus tugas dalam menyikapi persoalan TPPO dengan melakukan upaya pencegahan sejak dini.
Penindakan terhadap pelaku oleh pihak penegak hukum, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama baik pemerintah maupun para penegak hukum.
Karena aturan yàng ada sudah sangat mendukung untuk menindak para pelaku TPPO," ujarnya.
Dengan demikian, Haryadi meminta kiranya pihak kepolisian Polda Sulut untuk segera mengusut pihak-pihak ataupun perusahaan pemasok tenaga kerja di Sulut yang telah melakukan perbuatan TPPO.
"Kalau ada TKI asal Sulut yang sudah jadi korban TPPO, maka tentunya ada pihak-pihak yang telah mengirim mereka secara ilegal.
Yang patut diungkap pihak kepolisian hingga menyeret para pelaku sehingga ada efek jera terhadap perusahaan atau orang-orang yang terlibat dalam perdagangan orang secara melawan hukum ini," ucapnya.
Lanjut Haryadi, bahwa pasal 2 sampai dengan pasal 18 UUTPPO secara tegas merumuskan sanksi terhadap pelaku perdagangan orang.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat dikategorikan beberapa pelaku TPPO, yaitu:
1) Agen perekrutan Tenaga Kerja (legal atau illegal) yang membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan, mengurus identitas dan dokumen pejalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam kerjaannya di negara tujuan.
Meskipun tidak semua, namun sebagian PJTK terdaftar melakukan tindakan demikian;
2) Agen/calo (mungkin orang asing) yang datang ke suatu desa, tetangga, teman, bahkan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama.
Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTK terdaftar dan tidak terdaftar, guna memperoleh bayaran untuk tiap buruh yang direkrutnya;
3) Majikan yang memaksa buruh untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif, tidak membayar gaji, menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual atau fisik terhadap buruh;
4) Pemerintah, yang terlibat dalam pemalsuan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan tenaga kerja atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara illegal (termasuk pembiaran oleh polisi/petugas imigrasi.
5) Pemilik/pengeloa rumah bordil yang memaksa perempuan untuk bekerja di luar kemauan dan kemampuannya, tidak membayar gaji atau merekrut dan mempekerjakan anak yang belum berusia 18 tahun.
Terhadap para pelaku ini, UUTPPO memberikan sanksi pidana secra kumulatif, berupa penjara antara 3-15 tahun dan denda antara Rp. 120.000.000-600.000.000.
Dan jika mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan,atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana tersebut di atas.
Jika mengakibatkan matinya orang, maka diancam dengan penjara antara 5 tahun-seumur hidup dan denda antara Rp 200.000.000- Rp5.000.000.000.
Selain itu, bagi setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1-6 tahun dan pidana denda antara Rp 40.000.000-Rp 240.000.000.
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/praktisi-hukum-asal-sulawesi-utara-vebry-tri-haryadi-jhfgjfgj.jpg)