Memilih Damai
Ray Rangkuti: Tokoh Pemimpin Luar Jawa Perlu Didorong Maju Pilpres 2024
Tokoh-tokoh pemimpin di luar Pulau Jawa, khususnya asal Sumatera, harus didorong untuk maju dalam kancah Pilpres 2024.
Menurut Fachry Ali, dua tokoh asal Sumatera yang saat ini menonjol di kancah nasional adalah Surya Paloh dan Erick Thohir.
"Kalau di Sumatera ada dua tokoh yang kita lihat, yang satu sudah senior sekali yaitu Surya Paloh.
Ia adalah orang luar Jawa yang mendirikan partai nasional tapi bukan calon presiden dan kedua Erick Thohir (Menteri BUMN)," paparnya.
Surya Paloh sendiri menurutnya adalah tokoh hebat yang berani memimpin tanpa memandang etnis.
Sedangkan Erick Thohir dinilai bisa menjadi pemimpin nasional ke depan, entah sebagai presiden atau wakil presiden.
"Dalam basis konteks demografi (Erick Thohir) adalah jembatan antara generasi non milenial dengan milenial, Saya pernah membuat tulisan pengantar buku tentang dia, di dalam itu dia adalah jembatan bukan reproduksi dari Orde Baru, karena ia lahir ketika Orde Baru itu mulai mengkonsentrasikan kekuatan materialnya ditangan keluarga.
"Sedangkan kemampuan dia (Erick Thohir) didasarkan pada teknikal dan profesional.
Inilah basis dia sedikit bombastis, inilah basis politik ekonominya. Jadi dia diakui sebagai orang bukan massa, tapi kemampuan profesional dan ditunjukkan di nasional," ucapnya.
Fachry Ali menilai, politik identitas Jawa dan non-Jawa tidak ada sejak masa revolusi.
"Dikotomi Jawa dan luar Jawa seperti yang ditulis oleh Umar Kayam di Tempo pada tahun 1980-an, tembok-tembok di daerah Yogyakarta itu tertulis slogan Soekarno-Hatta, maksudnya itu (Soekarno) sukar tanpa Hatta. Itu di Yogyakarta," kata Fachry.
Namun, dia mengakui bahwa pertarungan politik sejak dahulu memang sering terjadi pembelahan antara partai Jawa dan non-Jawa.
"Dalam hal ini Masyumi yang memiliki basis tersebar di masing-masing daerah, yang tak dipungkiri penduduk di pulau Jawa sangat dominan saat ini.
"Menurut saya dari 1955 walaupun ini sangat hipotesis sampai dengan 1959, itu dikotomi Jawa dan luar Jawa itu tidak menjadi persoalan politik pada masa itu, tidak menjadi isu karena orang masih merindukan Hatta. Tapi setelah terjadinya Dekrit Presiden 1959 dikotomi itu kemudian meluas pendalaman karena kemudian terjadi keresahan-keresahan yang bersifat ekonomi," tandasnya.
Setelah itu, sebut Fachry, keresahan-keresahan akan politik identitas muncul. Hal ini diperparah dengan munculnya Orde Baru yang bisa dianggap pengukuhan politik identitas, bukan dalam perilaku politik saja.
Ia menjelaskan, model kekuasaan kemudian kembali pada model sejarah politik dan sosial ekonomi Jawa yang kemudian diciptakan.
"Lalu, tokoh-tokoh yang menjadi model politik itu adalah berasal dari dunia pewayangan, sehingga kemudian dirinya sebagai anak Aceh pun itu punya pendapat bahwa jika tidak bisa memahami Indonesia tanpa memahami Jawa," sebut dia.
Meski bisa memahami Jawa, sebut Fachry, mereka belum tentu memahami Indonesia.
Oleh karenanya, penting untuk menguasai salah satu daerah luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, ataupun Sulawesi Selatan.
"Jadi kalau kita tahu daerah luar Jawa, itu baru Anda bisa mengklaim bahwa Anda kenal Indonesia. Jadi kalau kita lihat proses politik yang semacam ini itu adalah suatu proses yang berlangsung secara tidak sengaja, karena pemilu yang tidak tuntas 1955 lalu kemudian negara baru merdeka dimana wilayah luar Jawa itu yang muncul secara dominan, sebagai kontributor dari ekonomi secara nasional karena mereka adalah sumber utama bagi ekspor komoditas ekspor, sementara wilayah Jawa itu yang dominan adalah pertumbuhan penduduknya," paparnya.
Menurut Fachry, pemindahan ibu kota dari Pulau Jawa akan memicu munculnya politik pasca-Jawa, yakni kurangnya sopan santun dalam berpolitik. Selain itu, pembangunan infrastruktur luar Jawa juga akan meningkat.
"Apakah ini akan melahirkan tokoh di luar Jawa, itu sebuah pertanyaan dari sebuah periode baru yang sedang bangkit sekarang ini," tanyanya.
Sedangkan, Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Profesor Alfitri menerangkan, jika berbicara mengenai hal historis peradaban Indonesia, bangsa Melayu sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar karena memiliki Mataraman Jawa yang lebih oligarkis.
"Nah, Melayu inilah sebetulnya akar dari demokrasi sebenarnya dan yang saya lihat beberapa potensi-potensi yang memang menjadi akar demokrasi itu memang muncul di Sumatera, ada marga Sumatera Barat ada Nagari, di Sumatera Utara juga ada marga.
"Inilah pembelajaran demokrasi Indonesia, sehingga pada saat kita melihat potret bagaimana Melayu memberikan semacam sumbangsih demokrasi kepada bangsa ini sangat terasa pada saat memutuskan Sumpah Pemuda," papar Alfitri.
Alfitri melanjutkan, Indonesia perlu mencari orang Jawa yang bisa menghargai bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu.
"Kemudian yang kedua ketokohan yang tadi singgung Soekarno Hatta yang memang begitu tunggal ini adalah model politik awal dalam membangun Indonesia ke depan," tuturnya.
Dia menilai bahwa ada semacam pencitraan bahwa presiden harus orang Jawa dan luar Jawa. Contohnya seperti Soekarno-Hatta, Soekarno-Malik, dan Soekarno-Jusuf Kalla (JK).
"Menurut saya bagaimana jalan tengah yang dipilih untuk memimpin Indonesia dengan keberagaman, jadi pluralistik Indonesia ini merupakan sebuah kekuatan ketika itu sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini.
"Termasuk pada saat Orde Baru menerapkan politik ekspansi dengan program transmigrasinya di sinilah, memulai bahwa peradaban peradaban ini Jawa dan luar Jawa ini mulai membaur, dalam kacamata tadi yang unggah-ungguhnya mulai luntur kemudian otokrasinya juga mulai memudar termasuk juga budaya di Melayu itu sudah lebih Jawa daripada orang lain ini yang kita lihat, bahwa sudah terjadi semacam persilangan dimana orang sekarang bermimpi terhadap keadilan," jelasnya.
Alfitri mengungkapkan, keadilan perlu diperhatikan ketika melihat tokoh-tokoh asal Sumatera.
"Tetapi kalau misal ada tokoh yang bisa mengusung prinsip keadilan, terutama di dalam membangun Indonesia peluang itu akan besar dengan tidak memandang dia dari mana.
Menurut saya di pada Pemilu 2024 akan menarik dan ditunggu oleh publik, bagaimana keadilan itu bisa menjadi tawaran bagi calon-calon kedepan," tambahnya.
(TribunJabar.id)
Baca Berita Tribun Manado di sini
Tayang di TribunJabar.id