Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Liputan Khusus Kelelawar Hitam

Masih Ada Harapan Kelelawar Hitam di Sulawesi Utara

Kelelawar hitam ke dalam kategori Appendix II yang berarti terancam punah jika perdagangan terus dilanjutkan tanpa diatur

Penulis: Isvara Savitri | Editor: Finneke Wolajan
Peneliti BP2LHK, Diah Irawati Dwi Arini
Kelelawar hitam (Pteropus alecto) tertangkap jaring milik BP2LHK saat penelitian 

Guna mempertegas larangan perburuan satwa liar, Askhari menyebut perlu adanya peran dari pemerintah daerah. Pihaknya berencana mendekati pemuka agama untuk membantu sosialisasi kepada umat. Pasalnya, masyarakat Sulut yang mayoritas beragama Nasrani cenderung menuruti isi kothbah pemuka agama.

Pembentukan Perdes

Pendiri Konservasi Kelelawar Sulawesi (KKS), Jusuf Kalengkongan, menyebut cara lainnya menyelamatkan kelelawar hitam dengan mengedukasi masyarakat agar tidak memburu berlebihan. “Be a smart hunter. Sekarang zaman sudah canggih, mereka berburu menggunakan lensa tele, dari situ mereka sudah bisa melihat kelelawar yang mau diburu apakah jantan, betina, atau anak-anak. Kalau anakan jangan ditembak lah. Karena kalau serampangan diburu, anak cucu kita tidak bisa lagi melihat kelelawar hitam ini, bisa dipastikan habis di era kita sekarang,” terangnya.

Pihaknya terus berupaya melestarikan kelelawar hitam melalui penangkaran di Kampung Paniki. “Ada satu rumah yang sudah kami dedikasikan sebagai lab. Sudah berhasil kami ternak dari 9 ekor menjadi 19 ekor,” tutur Jusuf.

Daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) yang siap diolah menjadi makanan khas Minahasa bernama paniki santan kering.
Daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) yang siap diolah menjadi makanan khas Minahasa bernama paniki santan kering. (Tribunmanado.co.id/Isvara Savitri)

Sayangnya, dalam proses pengembangbiakan, kelelawar-kelelawar hitam tersebut lepas dari laboratorium. Padahal, tujuan akhirnya kelelawar-kelelawar tersebut memang akan dilepas ketika sudah menginjak usia dewasa di lokasi yang aman seperti Taman Nasional Tangkoko, Bitung dan Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Minahasa Utara (Minut).

“Kalau bisa sampai membentuk koloni sebenarnya lebih bagus, tapi kami sudah survei ke seluruh daerah di Sulut, sepertinya sudah tidak ada lagi tempat yang aman untuk mereka,” kata Jusuf.

Tak hanya itu, KKS kini juga tengah mengusahakan penegakkan Peraturan Desa (Perdes) terkait perlindungan satwa liar yang dikawinkan dengan pengelolaan wisata daerah yang dikelola langsung oleh masyarakat. Sebelum pandemi COVID-19, Jusuf mengatakan pihaknya telah memulai perbincangan dengan pemerintah Desa Kokapoy, Mooat, Bolaang Mongondow Timur (Boltim) terkait Perdes dan mewujudkan kawasan hutan konservasi desa.

Pemilihan Desa Kokapoy sebagai kawasan hutan konservasi desa dikarenakan masih ada kelelawar hitam, yaki, hingga babi hutan, dalam satu kawasan hutan. Larangan berburu kelelawar hitam akan masuk ke dalam Perdes.

Poin lain yang akan dimasukkan juga terkait fungsi ekologi kelelawar hitam agar masyarakat tidak memburunya secara berlebihan di luar kawasan hutan konservasi desa. Edukasi terkait Perdes nantinya akan difokuskan bagi anak-anak usia sekolah. Diharapkan lewat generasi muda, perubahan perilaku dan gaya hidup bisa dibentuk.

“Jika berbicara soal human behaviour, kalau sudah umur 20an ke atas, mau berubah pasti akan sulit. Tapi jika kita masuk melalui anak-anak, kalau mereka yang ngomong di rumah, secara tidak sadar orangtua akan lebih dengar anaknya dibanding ikut sosialisasi di kantor desa atau tempat berburu mereka,” jelas Jusuf.

Untuk mewujudkan hutan konservasi desa, KKS akan mendata potensi-potensi satwa liar yang masih ada, kemudian akan didorong menjadi destinasi wisata konservasi yang dikelola oleh desa. KKS juga akan melatih masyarakat menjadi penjaga hutan, tour guide, hingga guide researcher karena KKS akan menyasar wisata sains dan edukasi baik bagi para peneliti dalam dan luar negeri maupun anak-anak sekolah.

Harapannya, selain melestarikan satwa liar hutan lindung tersebut bermanfaat bagi masa depan masyarakat sekitar. (Tribunmanado.co.id/Isvara Savitri)

Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerjasama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved