Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Liputan Khusus Kelelawar Hitam

Masih Ada Harapan Kelelawar Hitam di Sulawesi Utara

Kelelawar hitam ke dalam kategori Appendix II yang berarti terancam punah jika perdagangan terus dilanjutkan tanpa diatur

Penulis: Isvara Savitri | Editor: Finneke Wolajan
Peneliti BP2LHK, Diah Irawati Dwi Arini
Kelelawar hitam (Pteropus alecto) tertangkap jaring milik BP2LHK saat penelitian 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Sejumlah upaya terus didorong untuk menyelamatkan Kelelawar hitam (Pteporus alecto) dari ancaman kepunahan senyap. Masihkah ada harapan bagi masa depan biodiversitas di Sulawesi Utara?

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), menetapkan kelelawar hitam ke dalam kategori Appendix II yang berarti terancam punah jika perdagangan terus dilanjutkan tanpa diatur.

Namun, spesies ini masih belum dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Begitu pula Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) meletakkan kelelawar hitam pada status Least Concern (LC). Itu berarti belum banyak banyak pihak menaruh perhatian pada spesies ini.

Baca juga: Hilangnya Kelelawar Hitam Mengancam Kepunahan Buah

Baca juga: Kelelawar Hitam: Tersaji di Meja Makan, Nyaris Punah di Alam

Di tengah belum berpihaknya hukum, perlu upaya lebih untuk meredam kebiasaan masyarakat Minahasa mengonsumsi daging satwa liar. Sheherazade, Co Executive Director Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi (PROGRES) Sulawesi, berpendapat perlunya pendekatan persuasif untuk membentuk norma sosial baru adalah salah satu cara mencegah kepunahan kelelawar hitam.

“Misalnya saja dengan membentuk identitas baru sebagai masyarakat Minahasa yang mencintai satwa liar. Hal tersebut sama pentingnya dengan memutus rantai perdagangan,” ujarnya.

Suasana Pasar Tomohon dfghgfhg
Suasana Pasar Tomohon, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang menjual daging satwa liar, Sabtu (14/5/2022).

Di sisi lain, pemerintah dianggap perlu memperketat izin perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi, termasuk kelelawar hitam. Caranya dengan menentukan kuota daging satwa liar yang diperdagangkan atau memperketat administrasi lainnya. Terkait penegakan aturannya, pemerintah bisa bekerjasama dengan polisi patroli untuk mengontrol.

Kuota Penangkapan

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, Askhari Dg Massiki, menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan kuota penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi. Penentuan kuota tersebut juga melalui rekomendasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah mengkaji terlebih dahulu.

Pada 2022, BKSDA Sulut membatasi kuota penangkapan dan pemanfaatan kelelawar hitam maksimal 150 ekor setahun. “Nantinya akan kami beri izin pemanfaatan jika memang sesuai dengan persyaratan dan kuota,” kata Askhari.

Sejak tahun 2021, BKSDA Sulut bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Universitas Indonesia (UI) meneliti dampak ekonomi perdagangan dan konsumsi satwa liar di Sulut. Tujuannya untuk bisa memberikan solusi alternatif ekonomi masyarakat selain berdagang satwa liar.

Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan instansi dari daerah lain seperti BKSDA Sulsel, BKSDA Sulteng, dan BKSDA Sultra untuk bersama-sama mengurangi praktik perdagangan dan pasokan daging kelelawar hitam ke Sulut.

Adapun para pedagang daging satwa liar di pasar-pasar tradisional telah coba dirangkul. Ada sejumlah pedagang akhirnya berhenti berjualan satwa liar. Mereka mendapatkan sertifikat sebagai sebuah bentuk penghargaan dari BKSDA Sulut. Sertifikat itu, katanya, sekaligus menjadi bentuk kontrol dari BKSDA Sulut untuk memastikan mereka tidak kembali berdagang satwa lair di kemudian hari. 

BKSDA Sulut juga memiliki masyarakat mitra polhut di beberapa daerah yang membantu menjaga hutan serta memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar terkait perburuan satwa liar.

Guna mencegah semakin masifnya perburuan liar, BKSDA Sulut juga mendorong agar masyarakat membuat penangkaran sendiri jika masih ingin mengonsumsi kelelawar hitam. Masyarakat yang memiliki izin penangkaran diwajibkan mengembalikan kelelawar hitam berusia dewasa ke alam bebas sebanyak 10 persen dari jumlah yang ada di penangkaran.

Seorang warga memegang kelelawar hitam (Pteropus alecto). Kelelawar hitam diketahui sebagai salah satu penyerbuk utama bunga durian.
Seorang warga memegang kelelawar hitam (Pteropus alecto). Kelelawar hitam diketahui sebagai salah satu penyerbuk utama bunga durian. (Peneliti BP2LHK Manado, Diah Irawati Dwi Arini)

“Mekanismenya masyarakat bisa bermohon ke kami, nanti kami survei areanya layak atau tidak. Kemudian pertimbangan teknisnya akan kami sampaikan ke pusat, kalau layak ya kami berikan rekomendasi. Kalau tidak, mungkin nanti akan kami berikan bimbingan teknis,” jelas Askhari. Masyarakat yang hendak membuat penangkaran, akan diberi indukan oleh BKSDA Sulut yang bisa dikembangbiakkan sendiri.

Guna mempertegas larangan perburuan satwa liar, Askhari menyebut perlu adanya peran dari pemerintah daerah. Pihaknya berencana mendekati pemuka agama untuk membantu sosialisasi kepada umat. Pasalnya, masyarakat Sulut yang mayoritas beragama Nasrani cenderung menuruti isi kothbah pemuka agama.

Pembentukan Perdes

Pendiri Konservasi Kelelawar Sulawesi (KKS), Jusuf Kalengkongan, menyebut cara lainnya menyelamatkan kelelawar hitam dengan mengedukasi masyarakat agar tidak memburu berlebihan. “Be a smart hunter. Sekarang zaman sudah canggih, mereka berburu menggunakan lensa tele, dari situ mereka sudah bisa melihat kelelawar yang mau diburu apakah jantan, betina, atau anak-anak. Kalau anakan jangan ditembak lah. Karena kalau serampangan diburu, anak cucu kita tidak bisa lagi melihat kelelawar hitam ini, bisa dipastikan habis di era kita sekarang,” terangnya.

Pihaknya terus berupaya melestarikan kelelawar hitam melalui penangkaran di Kampung Paniki. “Ada satu rumah yang sudah kami dedikasikan sebagai lab. Sudah berhasil kami ternak dari 9 ekor menjadi 19 ekor,” tutur Jusuf.

Daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) yang siap diolah menjadi makanan khas Minahasa bernama paniki santan kering.
Daging kelelawar hitam (Pteropus alecto) yang siap diolah menjadi makanan khas Minahasa bernama paniki santan kering. (Tribunmanado.co.id/Isvara Savitri)

Sayangnya, dalam proses pengembangbiakan, kelelawar-kelelawar hitam tersebut lepas dari laboratorium. Padahal, tujuan akhirnya kelelawar-kelelawar tersebut memang akan dilepas ketika sudah menginjak usia dewasa di lokasi yang aman seperti Taman Nasional Tangkoko, Bitung dan Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Minahasa Utara (Minut).

“Kalau bisa sampai membentuk koloni sebenarnya lebih bagus, tapi kami sudah survei ke seluruh daerah di Sulut, sepertinya sudah tidak ada lagi tempat yang aman untuk mereka,” kata Jusuf.

Tak hanya itu, KKS kini juga tengah mengusahakan penegakkan Peraturan Desa (Perdes) terkait perlindungan satwa liar yang dikawinkan dengan pengelolaan wisata daerah yang dikelola langsung oleh masyarakat. Sebelum pandemi COVID-19, Jusuf mengatakan pihaknya telah memulai perbincangan dengan pemerintah Desa Kokapoy, Mooat, Bolaang Mongondow Timur (Boltim) terkait Perdes dan mewujudkan kawasan hutan konservasi desa.

Pemilihan Desa Kokapoy sebagai kawasan hutan konservasi desa dikarenakan masih ada kelelawar hitam, yaki, hingga babi hutan, dalam satu kawasan hutan. Larangan berburu kelelawar hitam akan masuk ke dalam Perdes.

Poin lain yang akan dimasukkan juga terkait fungsi ekologi kelelawar hitam agar masyarakat tidak memburunya secara berlebihan di luar kawasan hutan konservasi desa. Edukasi terkait Perdes nantinya akan difokuskan bagi anak-anak usia sekolah. Diharapkan lewat generasi muda, perubahan perilaku dan gaya hidup bisa dibentuk.

“Jika berbicara soal human behaviour, kalau sudah umur 20an ke atas, mau berubah pasti akan sulit. Tapi jika kita masuk melalui anak-anak, kalau mereka yang ngomong di rumah, secara tidak sadar orangtua akan lebih dengar anaknya dibanding ikut sosialisasi di kantor desa atau tempat berburu mereka,” jelas Jusuf.

Untuk mewujudkan hutan konservasi desa, KKS akan mendata potensi-potensi satwa liar yang masih ada, kemudian akan didorong menjadi destinasi wisata konservasi yang dikelola oleh desa. KKS juga akan melatih masyarakat menjadi penjaga hutan, tour guide, hingga guide researcher karena KKS akan menyasar wisata sains dan edukasi baik bagi para peneliti dalam dan luar negeri maupun anak-anak sekolah.

Harapannya, selain melestarikan satwa liar hutan lindung tersebut bermanfaat bagi masa depan masyarakat sekitar. (Tribunmanado.co.id/Isvara Savitri)

Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerjasama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved