OPINI PASKAH
“Sunyi-Kosong”, Teologi Paskah Bagi Kehidupan
NARASI tentang Yesus sepertinya telah mendekonstruksi tentang hal “sunyi” dan “kosong”. Turun ke alam maut dalam kesunyian, bukan berarti kebinasaan.
Gereja memberi makna kehidupan pada kehidupan yang terasa ‘kosong’ oleh karena ketidakadilan, eksploitasi, ekonomi yang menghisap sumber daya alam dan tenaga manusia demi modal yang terus mengglembung bagi para kapitalis.
Dalam masyarakat yang kapitalistis-politis dan semua ditampilkan serba religius, kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki identitas minor (identitas gender, agama, suku, ras dan kelas sosial) adalah rentan dan rapuh.
Politisasi identitas dominan pada masyarakat seperti ini wujudnya adalah “kuasa” yang meminggirkan dan membuat kelompok dengan identitas minor tersebut menjadi “manusia non hak”, yang setiap saat dapat dengan mudah divonis bersalah oleh kuasa kebenaran dominan. Dalam situasi seperti ini, gereja hadir memberi makna kehidupan bagi kelompok-kelompok yang terpinggir oleh dominasi wacana kebenaran tunggal.
Gereja hadir memberi isi kehidupan untuk mereka yang disingkirkan dalam kesunyian dan kekosongan hak dan harapan.
Teologi Paskah Yesus Kristus yang berulang-ulang dikhotbahkan tidak muncul dalam suatu “kemegahan” dan “keberadaan” kuasa politik imperium. Justru, dalam wacana “kosong” dan “sunyi”, teologi ini dikonstruksi menjadi suatu “daya” untuk menggerakkan kehidupan.
Hal ini sepertinya mesti menjadi “ingatan” bagi institusi gerejawi untuk terus menjadi gerakan bagi kehidupan di jalan “sunyi”, meskipun pundi-pundi derma “kosong”.